REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Nasional, Jakarta, Mohammad Hailuki mengatakan Partai Golkar pascamunaslub di Bali yang mengukuhkan Setya Novanto sebagai Ketua Imum partai berlambang beringin itu harus memiliki kemampuan untuk menghadapi sentimen negatif masyarakat.
"Di era dimana partisipasi politik publik semakin tinggi, hal utama yang harus diinsyafi adalah persepsi dan sentimen publik," kata Luki, Rabu (18/5).
Mohammad Hailuki mengatakan kasus yang pernah dialami oleh Setya Novanto sehingga ia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua DPR seharusnya juga menjadi pertimbangan Setya Novanto dalam memimpin partai tersebut menghadapi pemilihan umum 2019 dan pemilihan kepala daerah serentak pada Februari 2017.
Menurut dia, publik mengharapkan sosok berintegritas sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, jika dirasa sulit menemukannya paling tidak perlu dicari figur yang minim kontroversi.
"Kepentingan publik ini yang semestinya diagregasi oleh Golkar dalam sosok ketua umumnya. Sehingga Golkar tidak hanya bisa melakukan konsolidasi internal melainkan juga memulihkan kepercayaan masyarakat pemilih," paparnya.
Luki yang juga peneliti Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS), mengatakan jangan sampai energi dan perhatian elit Partai Golkar terkuras untuk menghadapi sentimen negatif masyarakat dibandingkan menyiapkan mesin politik bagi pilkada serentak dan juga pemilu 2019.
"Bila itu terjadi, konsolidasi tak optimal, kepercayaan pemilih pun tak pulih," katanya.
Dalam Musyawarah Luar Biasa Partai Golkar yang ditutup pada Senin (17/5), dari delapan kandidat calon ketua umum Golkar, Setya Novanto terpilih menduduki jabatan tersebut setelah peraih suara terbanyak kedua dalam pemungutan suara putaran pertama, Ade Komaruddin memutuskan mundur dan tidak melanjutkan langkahnya pada pemilihan ketua partai itu. Novanto meraih 277 suara sedangkan Akom mendapat 173 suara.