REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Sidang Paripurna, Kamis (2/6), DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Namun, sejumlah pihak menilai, UU Pilkada ini rentan digugat ke Mahkamah Konsitusi.
Pasalnya, masih ada perbedaan pandangan terkait keharusan mundurnya anggota legislatif jika maju ke kontestasi Pilkada. Begitu juga dengan poin syarat pengajuan calon bagi partai politik atau gabungan partai politik di Pilkada.
Namun, anggota Komisi II DPR RI, Arteria Dahlan, menilai, seharusnya publik jangan hanya melihat isu soal mundurnya anggota legislatif atapun syarat ambang batas dukungan parpol. ''Revisi ini membawa banyak perubahan khususnya dalam hal yang mengatur perilaku penyimpangan dan potensi daya rusaknya terhadap demokrasi. Jadi jangan sekadar dilihat pada dua isu itu,'' tutur Arteria di Jakarta, Jumat (3/6).
Arteria menambahkan, RUU Pilkada yang telah disahkan menjadi Undang-Undang sebenarnya telah membawa banyak perubahan, terutama soal menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, berdasarkan Putusan MK, anggota legislatif harus mundur jika maju ke Pilkada. Akhirnya, hal ini pun diatur di revisi UU Pilkada.
''Ini sebagai bentuk penghormatan DPR terhadap putusan MK, yaitu seperti mundurnya anggota DPR, ketentuan soal calon tunggal, pengaturan petahanan, dan syarat publisitas bagi mantan napi,'' tutur politikus PDIP tersebut.
Tidak hanya itu, Arteria mengungkapkan, dalam menyusun perubahan UU Pilkada, pihaknya berpijak dan memperhatikan evaluasi atas pelaksanaan Pilkada serentak 2015 silam.