Oleh Prof Dr KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta)
Ia juga sabar ketika dibuang dan dikucilkan masyarakat, meskipun bersedih karena keluarga terdekatnya ikut mengucilkannya. Kesabaran Nabi Ayub pada tingkat ini disebut shaabir. Setelah sekian lama hidup di gua pengasingan, ia mulai bersahabat dengan lingkungannya. Ia juga bersahabat dengan penyakitnya, termasuk kerumunan belatung yang menggerogoti dirinya.
Konon ia pernah memungut kembali belatung yang yang jatuh dari dirinya dengan mengatakan, kalian dulu musuhku, sekarang menjadi sahabatku. Hanya kalianlah yang mau menemani aku di dalam kesunyain gua ini. Bahkan ia menikmati penyakit dan kesendiriannya di dalam gua. Kesabaran Nabi Ayub pada tingkat ini sudah dapat disebut mashaabir.
Suatu ketika Nabi Ayub diperdengarkanlah sebuah teriakan: "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum” (Q.S. Shad/38:42). Setelah itu tiba-tiba memancar air jernih dan sejuk dari bekas tumitnya. Nabi Ayub minum dan mandi dari air itu dan tiba-tiba ia merasakan perubahan yang amat besar di dalam dirinya.
Ia tidak menyaksikan lagi luka di dalam dirinya dan sahabat-sahabat belatungnya tiba-tiba menghilang entah kemana. Bahkan bekas-bekas luka pun tidak tampak pada diri Nabi Ayub. Ia lalu sembah sujud atas kasih sayang Allah SWT terhadap dirinya. Sumur itu sudah dipugar tidak jauh dari makam Imam al-Nawawi, pengarang kitab wajib pesantren "Riyadh al-Shalihin" di luar kota Suriah.
Setelah betul-betul kembali sehat dan normal ia kembali ke dalam masyarakat sebagai Nabi dan pemimpin umat. Ia juga diminta menunaikan janjinya mencambuk istrinya 100 kali: “Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)”. (Q.S. Shad/38:44).