REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah mengajukan nama Komjen (Pol) Tito Karnavian sebagai calon tunggal calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Sebelum resmi menjadi pengganti Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sebagai orang nomor satu di Polri, Tito harus menjalani fit and proper test atau uji kelayakan di DPR.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Namun, peneliti Pusat Studi Hukum dan Keamanan (PSHK), Miko Ginting, menilai, dalam proses pemilihan Kapolri tersebut, DPR tidak boleh hanya sekedar memberikan atau persetujuan atas pengajuan calon dari Presiden Joko Widodo itu.
"DPR harusnya bisa melakukan pemeriksaan mendalam terkait rekam jejak, integritas, maupun indepedensi calon Kapolri, Komjen (Pol) Tito Karnavian," ujar Miko di Jakarta, Rabu (15/6).
Terkait rekam jejak dari calon Kapolri itu, lanjut Miko, DPR seharusnya melibatkan lembaga-lembaga lain saat melakukan fit and proper test. Lembaga-lembaga itu antara lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangangan (PPATK), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Hal ini sebagai bentuk kontrol DPR terhadap pelaksanaan janji Nawacita Jokowi-JK, yang akan memiliki Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan memiliki komitmen terhadap penegakan hukum," kata Miko.
Tidak hanya itu, menurut Miko, pemilihan Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri seharusnya diletakkan dalam kerangka reformasi Kepolisian. Kondisi ini pun diperkuat dengan usia Tito Karnavian yang tergolong masih muda, yaitu dalam rangka mendorong kebaruan dan reformasi di tubuh Kepolisian.
"Oleh karena itu, Tito Karnavian dalam fit and proper test di DPR nanti, seharusnya bisa mengungkapkan gagasannya soal reformasi Kepolisian dan bagaimana mencapainya," tutur Miko.