REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah membatalkan setidaknya 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bermasalah. Namun, dalam melaksanakan pembatalan Perda tersebut, Pemerintah diingatkan untuk menaati sejumlah asas-asas, yaitu asas kepastian hukum, akuntabiltas, kecermatan dan kehati-hatian.
Menurut pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi (SIGMA), Imam Nasef, pemerintah seharusnya memiliki kajian mendalam sebelum memutuskan untuk mencabut sejumlah Perda tersebut. Jika tidak memiliki kajian secara mendalam, maka langkah pembatalan Perda itu dinilai sebagai langkah kontraproduktif dalam upaya mewujudkan good governance.
"Kalau dalam membatalkan perda tidak ada kajian terlebih dahulu, maka Pemerintah dalam hal ini Mendagri sangat potensial melanggar sejumlah asas tadi," ujar Imam di Jakarta, Kamis (16/6).
Selain itu, menurut Imam, perlu ada pengujian terkait pembatalan Perda tersebut. Imam menjelaskan, berdasarkan Pasal 250 dan 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah (UU Pemda) hanya ada tiga alasan suatu Perda dibatalkan, baik secara kumulatif maupun alternatif.
Alasan-alasan tersebut antara lain, bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, dan atau bertentangan dengan kesusilaan. Pengujian terhadap Perda-Perda itu pun penting agar langkah yang diambil Kemendagri tidak melanggar asas kepastian hukum dan akuntabilitas.
"Kalau Mendagri tidak melakukan kajian terlebih dahulu bagaimana dapat menguji dan memastikan perda-perda tersebut bertentangan dengan ketiga hal itu?. Pengujian ini sangat penting agar keputusan yang diambil Mendagri mencerminkan asas kepastian hukum dan akuntabilitas," kata Imam.
Sebelumnya, pemerintah pusat membatalkan sebanyak 3143 Perda yang dianggap bermasalah. Perda-perda yang dibatalkan itu rata-rata berfokus pada aturan pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis.