REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengimbau kepada para pemudik lebih baik terlambat berangkat daripada melawan cuaca buruk dalam musim mudik Lebaran 2016.
Jonan dalam konferensi pers pemantauan Posko Angkutan Lebaran Kemenhub 2016 di Jakarta, Jumat (24/6) mengatakan imbauan tersebut khususnya ditujukan kepada pemudik melalui moda angkutan laut dan udara. "Khususnya laut dan udara, kalau 'delay' ya 'delay' saja, pasti banyak yang protes ke saya, kalau soal cuaca jangan ke saya, tapi ke Yang Buat cuaca," katanya.
Menurut dia, upaya tersebut lebih baik dilakukan untuk menghindari risiko yang lebih besar dan berdampak pada keselamatan di perjalanan. "Kalau dipaksakan, nanti tidak akan pernah sampai, malah akan lebih lama nyarinya, yang penting itu perjalanan selamat. Tidak boleh ada target waktu," katanya.
Pasalnya, Jonan mengatakan kepadatan penumpang di semua moda meningkat, di laut dan udara, peningkatannya hampir dua kali lipat daripada hari biasa atau 1,75 kali dari akhir pekan, sementara itu, untuk moda angkutan jalan empat hingga lima kali lipat daripada hari biasa.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, moda transportasi udara diprediksi mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan seluruh moda, yakni mencapai 7,62 persen menjadi 4,6 juta penumpang pada Lebaran tahun ini dari 4,3 juta penumpang dibandingkan dengan Lebaran tahun lalu. Untuk moda laut, juga diprediksi mengalami kenaikan 2,9 persen menjadi 910.191 penumpang pada Lebaran tahun ini dari 883.681 penumpang dibandingkan dengan Lebaran tahun lalu.
Namun, untuk moda darat, Jonan mengimbau kepada para pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kepolisian, operator dan regulator untuk bersiaga, seperti menyiapkan alat berat (traktor, ekskavator) untuk mengantisipasi daerah rawan longsor, seperti di Nagrek dan bagian selatan lainnya.
Pasalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan sepanjang Ramadhan dan Lebaran akan diselimuti cuaca kemarau basah. Kepala BMKG Andi Eka Sakya menjelaskan hal itu disebabkan munculnya La Nina sepanjang Juli, Agustus, dan September 2016.
"Munculnya La Nina ini karena fenomena Dipole Mode Negatif atau kondisi suhu muka laut di bagian barat Sumatra lebih hangat dari suhu muka laut di Pantai Timur Afrika, sehingga menambah pasokan uap air yang menimbulkan bertambahnya curah hujan untuk wilayah Indonesia bagian barat," katanya.
Daerah-daerah yang terdampak, dia menyebutkan, di antaranya Sumatera Utara bagian barat, Sumatra Barat bagian barat, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa bagian barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua.