Senin 27 Jun 2016 16:35 WIB

YLKI Dorong Warga Lakukan Class Action Soal Vaksin Palsu ke Pemerintah

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Esthi Maharani
Petugas memberikan vaksin polio kepada balita (ilustrasi).
Foto: Antara
Petugas memberikan vaksin polio kepada balita (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus terkuaknya vaksin palsu tidak bisa dianggap main-main karena dampak dari vaksin palsu bisa berjangka panjang dan fatal.

"Tidak cukup hanya pelakunya yang diberikan sanksi pidana, namun pemerintah sebagai regulator juga harus bertanggungjawab dan dikenai sanksi," ujar Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Senin (27/6).

(Baca juga: Menkes: Peredaran Vaksin Palsu tak Sampai Satu Persen)

Hal ini mengingat begitu lamanya praktik pemalsuan, yakni sekitar 13 tahun dan sudah beredar ke seluruh Indonesia. Menurut dia, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) bisa dikatakan tidak menjalankan fungsinya, sesuai kapasitas yang dimiliki.

Apalagi, kata Tulus, penggunaan vaksin tidak bisa langsung oleh masyarakat, melainkan melalui institusi dan tenaga kesehatan.

"Jadi jelas, institusi kesehatan mutlak untuk dimintai pertanggungjawaban karena telah memberikan vaksin palsu pada pasiennya," kata dia.

Kondisi ini juga menunjukkan adanya pengadaan barang atau jasa yang tidak beres, tidak melalui proses tender yang benar, dan berpotensi adanya tindakan koruptif oleh pejabat pembuat komitmen di Kemenkes. Terkait hal ini, YLKI mendorong dan mengajak masyarakat untuk melakukan gugatan class action. 

Class action itu ditujukan kepada Kemenkes, Badan POM dan institusi terkait lainnya, khususnya bagi orang tua yang anaknya dilahirkan pada kisaran 2004 ke atas. Karena anak dengan kelahiran 2004 dan seterusnya berpotensi menjadi korban vaksin palsu. YLKI sendiri siap memfasilitasi gugatan class action tersebut.

"Guna memberikan pelajaran kepada pemerintah karena lalai tidak melakukan pengawasan, dan masyarakat menjadi korban akibat kelalaiannya itu," ujar Tulus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement