REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tiga proyek mercusuar yang digarap Pemerintah Kota Malang dipastikan berhenti. Penghentian proyek ini ditegaskan oleh Wali Kota Malang Mochamad Anton pada Senin (11/7). Ketiga proyek tersebut meliputi pembangunan jembatan Kedungkandang, gorong-gorong sistem "jacking", dan gedung Islamic Center.
Anton mengatakan hari ini ia akan bertemu dengan tim anggaran proyek untuk menerima laporan. Menurutnya polemik yang melilit ketiga proyek tersebut membuat pembangunan tidak efektif. "Lebih baik dana diarahkan ke infrastruktur lain dan pendidikan," ungkapnya.
Pembangunan jembatan Kedungkandang terhenti karena adanya masalah hukum dengan kontraktor lama PT Nugraha Adi Taruna akibat penyelewengan dana jembatan. Semula pembangunan jembatan akan dikerjakan selama tiga tahun mulai 2016 sampai 2018. Sumber dana pembangunan berasal dari APBD sebesar Rp 90 miliar atau setiap tahun dikucurkan Rp 30 miliar. Anggaran tersebut menggelembung dari yang semula Rp 79 miliar menjadi Rp 90 miliar.
Pada proyek gorong-gorong, kontraktor PT Citra Gading Asritama saat ini tengah mengajukan kasasi di Mahkamah Agung. Proyek ini masuk ke ranah hukum karena kontraktor mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Malang.
Gugatan tersebut dilayangkan karena Pemkot Malang tidak mau membayar sisa biaya pembangunan sebesar Rp 14 miliar dengan dalih kontraktor melanggar kesepakatan. Sampai saat ini, proyek masih terbengkalai.
Anggaran untuk melanjutkan pembangunan gorong-gorong sistem "jacking" sepanjang di Jalan Tidar hingga Jalan Bondowoso menelan Rp 16 miliar. Sebelumnya, proyek tersebut sudah menghabiskan anggaran sekitar Rp 20 miliar.
Pembangunan Islamic Centre diperkirakan menelan biaya sekitar Rp 100 miliar. Pemkot Malang berencana membangun Islamic Center di area seluas 8,5 hektar di Jalan Mayjen Sungkono atau selatan GOR Ken Arok Kedungkandang. Akan tetapi belakangan lokasi pembangunan dipindah ke Kelurahan Arjowinangun Kedungkandang.
Lokasi Islamic Center menjadi sorotan lantaran lahan di kawasan GOR Ken Arok masih terjadi tarik ulur dengan salah satu mantan anggota dewan era 1998. Kondisi ini dianggap mengganggu proses pembangunan.