REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi sebagai tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Penyidik menduga harta atau aset yang disamarkan Sanusi dalam bentuk properti.
Hal itu nampak dari pemanggilan belasan saksi oleh penyidik KPK pada Selasa (12/7) hari ini. "Kebanyakan berasal dari properti," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/7).
Namun ia enggan mengatakan sejumlah aset-aset tersebut secara gamblang. Menurutnya, aset yang diduga tersebut akan diungkapkan di Pengadilan. "Aset yang disamarkan akan disampaikan nanti di Pengadilan, tapi memang yang dipanggil hari ini banyak perusahaan pengembang," ujar dia.
Adapun dari 13 saksi yang dipanggil hari ini, diketahui tujuh tidak hadir. Ketujuhnya diketahui meminta penjadwalan ulang. "Alasannya masih mudik," ujar Priharsa.
Diketahui, 13 orang tersebut yakni yang hadir Leo Setiawan, Tekno Wibowo, Gerard Arche Istiarso, Aseng, Gina Prilianti, Hendrikus Kangean. Sementara yang tidak hadir yakni Haniwati Gunawan Wahyu Dewanto, Jefri Setiawan Evelyn Irawan, Dodi Setiadi, dan Danu Wira. Nicholas Hartono. Priharsa mengatakan, pemeriksaan penyidik kepada ke-13 orang tersebut terkait aset yang dimiliki MSN.
"(Penyidik mengkonfirmasi) soal aset-aset milik MSN," ujar Priharsa.
Diketahui, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan tersangka kepada Ketua Komisi D DPRD DKI, Mohamad Sanusi. Kali ini, Sanusi dijerat pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Penetapan tersangka TPPU ini merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Sanusi sebelumnya, yakni kasus dugaan suap pembahasan Raperda Reklamasi Teluk Jakarta. "Setelah dilakukan pengembangan, penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup menetapkan MSN, Anggota DPRD DKI 2014-2019 sebagai tersangka TPPU," kata Priharsa di Gedung KPK, Jakarta, Senin (11/7).
Priharsa mengatakan, Sanusi diduga melakukan perbuatan, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil dari tindak pidana korupsi. Atas perbuatannya tersebut, Sanusi juga disangkakan melanggar pasal 3 dan atau 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencehahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Adapun surat perintah penyidikan TPPU Sanusi tersebut ditandatangani pimpinna KPK pada 30 Juni 2016 lalu.