Ahad 17 Jul 2016 22:13 WIB

Halal Bihalal Bukti Umat Islam Pemaaf

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Maman Sudiaman
 Saling bermaafan (ilustrasi)  (Antara/Septianda Perdana)
Saling bermaafan (ilustrasi) (Antara/Septianda Perdana)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Halal bihalal sudah menjadi tradisi yang berkembang di negeri ini. Keutamaan halal bihalal menjadi salah satu bukti bahwa umat Islam merupakan umat pemaaf.

Meski halal bihalal --sejatinya-- berasal dari budaya asli Indonesia, namun tradisi memaafkan ini dilakukan karena menauladani Rasulullah SAW. Hal ini terungkap dalam tausyiah yang disampaikan Dr H Ahmad Faiz Lc MA dalam acara Halal Bihalal keluarga besar RSI Sultan Agung, Semarang, di aula rumah sakit setempat, baru- baru ini.

Saat penaklukkan Kota Makkah  (fathul makkah), jelas kyai muda yang akrab disapa Gus Faiz ini, tidak ada pembalasan bagi mereka yang dulu menyakiti, mengejek, menyerang Rasulullah SAW. Yang dilakukan oleh Rasulullah SAW justru sebaliknya. Rasulullah malah menanggalkan segala kebencian dan merangkul mereka dalam kedamaian.

"Oleh karena itu, memaafkan adalah sifat mulia yang ada di dalam diri setiap muslim semenjak zaman Rasulullah SAW," tambahnya.

Di Indonesia ini, masih jelas Faiz, momentum saling memaafkan ini jamak dilakukan setelah perayaan Idul Fitri. Tujuannya tak lain untuk meminta maaf dan memaafkan. Momen halal bihalal jangan dimanfaatkan untuk menunggu bermaafan dengan saudaranya. Jika merasa bersalah kepada siapa saja, hendaknya langsung meminta maaf.

Memaafkan jangan menunggu sampai lebaran tahun berikutnya. Bermaaf dan saling memaafkan merupakan sesuatu yang indah. "Indahnya saling memaafkan juga terlihat dari halal bihalal yang digelar keluarga besar RSI Sultan Agung Semarang ini," ujar Gus Faiz.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement