REPUBLIKA.CO.ID, BUKITTINGGI -- Dokter hewan di Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, Tri Nola Mayasari menyatakan, kematian anak harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) beberapa waktu lalu disebabkan penyakit.
"Dua ekor anak harimau sumatera itu mati dalam waktu berdekatan. Anak harimau betina mengalami kondisi yang lebih buruk dari pada anak harimau jantan," katanya dalam pertemuan dengan awak media di Balaikota setempat, Senin (18/7).
Ia menyebutkan, anak harimau betina didiagnosa menderita komplikasi penyakit jantung koroner dan enteritis akut atau radang saluran pencernaan, sedangkan anak harimau jantan menderita enteritis akut. "Dari hasil pembedahan atau nekropsi, ditemukan gumpalan lemak pada bagian jantung harimau betina. Hal tersebut seharusnya tidak terjadi jika memperhatikan asupan makanan, aktivitas di kandang dan bobot tubuh harimau," katanya.
Kemudian pada bagian organ pencernaan kedua anak harimau itu, ditemukan hemoragi atau luka seperti pada lambung dan usus akibat gesekan berlebih pada dinding organ tersebut. Lalu organ paru-paru juga bermasalah karena ditemukan adanya gelembung, warna tidak sama serta ditemukan pula hemoragi. Hemoragi juga terdapat pada limpa dan hati kedua satwa itu.
"Ada tiga organ penting makhluk hidup, yakni jantung, paru-paru dan otak, bila salah satu sudah bermasalah maka akan membawa dampak pada organ lainnya," ujarnya.
Selain itu, kedua anak harimau juga mengalami gangguan pertumbuhan tulang pada kakinya sehingga sempat mengalami kesulitan berjalan yang diketahui pada 8 Mei 2016, namun setelah menjalani perawatan di Padang dan terapi, satwa dapat kembali berjalan dengan baik.
"Awal penurunan kondisi kesehatan anak harimau yang lahir pada 14 Januari 2016 ditemukan pada Mei tersebut. Keduanya menjalani perawatan ke Klinik Dinas Peternakan Sumbar di Padang, namun kondisinya menurun setelah mengalami muntah dan mencret pada 29 Juni 2016," ucap dia.
Anak harimau betina mati pada 30 Juni 2016 sekitar pukul 15.00 WIB sedangkan anak harimau jantan mati pada 1 Juni 2016 di waktu yang sama setelah mendapat perawatan lebih lanjut di Puskeswan Bukittinggi. "Satwa dibawa ke Padang Panjang dan di sanalah dilakukan nekropsi. Hasil nekropsi tersebut dikirim ke Balai Pengujian Penelitian Veteriner (BPPV) Regional II Baso untuk dilakukan pemeriksaan lebih hispatologi, virologi dan bakteriologi dan meneguhkan diagnose sementara," katanya.