REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pria yang diduga teroris, Santoso, tewas ditembak oleh prajurit Raider Kostrad yang juga tergabung di Satgas Tinombala. Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya memiliki enam pandangan terkait kabar tersebut.
Pertama, kalau kontak tembaknya di wilayah Tambarana Poso, maka sangat mungkin yang meninggal adalah sosok Santoso. "Jika jenazah sampai di rumah sakit nanti tinggal istri Santoso (Ummu Wardah) diminta untuk melihat sebagai konfirmasi atau melalui tes DNA," ujar Harits kepada Republika.co.id, Selasa (19/7).
Kedua, Santoso adalah simbol sekaligus simpul perlawanan kelompok ekstremis di belantara hutan Poso selama ini. Maka, kata Harits, dengan meninggalnya Santoso sangat berpengaruh signifikan pada eksistensi kelompok tersebut. "Sisa-sisa kelompok Santoso sangat mungkin terdiaspora, memudar, menyerahkan diri atau melakukan aksi nekat secara sporadis," ujarnya.
Ketiga, di Indonesia ada tiga tempat 'seksi' untuk gerilya yaitu Sulawesi, Aceh dan Papua. Harits menyebut ketika sosok Santoso tidak ada lagi, maka otomatis Poso (Sulawesi) menjadi pilihan kelompok tertentu sebagai basis perlawanan akan memudar.
Keempat, banyak pihak berharap tidak ada lagi 'Santoso-Santoso' baru. Baik karena pilihan pribadi dengan latar belakang dendam atau kreasi dari kelompok tertentu karena visi politiknya ke depan. Diharapkan juga tidak ada kesengajaan pihak tertentu menciptakan 'Santoso' baru dengan narasi berlebihan agar drama perang atas terorisme terus berjalan kontinu.
Kelima, Harits berharap operasi Tinombala segera dihentikan pascameninggalnya Santoso. Pasalnya, rakyat Poso membutuhkan ketenangan lahir batin. Masyarakat butuh hidup normal dalam aspek perekonomian dan aspek lainnya. Yang lebih penting, masyarakat Poso tidak ingin daerahnya dilabeli basis teroris terus-menerus.
Keenam, soal terorisme lebih banyak orang dengan pola pikir justifikasi dan condong bicara penindakan, tetapi abai kepada membaca akar dan semua variabel stimulan dari fenomena terorisme secara holistik. Hal ini tidak terkecuali dengan kasus terorisme di Poso. Oleh karena itu, kata Harits, tantangan ke depan adalah bagaimana mengkonstruksi sikap yang proporsional dengan 'disengagement of violant' (menjauhkan seseorang dari aksi-aksi kekerasan). "Itu lebih utama dibanding bicara law enforcement(penindakan) karena fenomena terorisme di Indonesia mengalami transformasi sedemikian rupa," ujar Harits.