REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan belum menyepakati permintaan insentif yang diajukan oleh kontraktor migas asal Jepang, Inpex Corporation untuk menggarap blok migas Masela, Maluku.
Kepala Divisi Humas SKK Migas Taslim Yunus menyebutkan, persetujuan plant of development bakal bergantung pada kesepakatan pemberian insentif ini. "Sekarang lagi dibahas itu adalah usulan beberapa insentif yang diminta oleh Inpex, SKK Migas sedang pelajari usulan itu termasuk dalam investment credit, tax holiday dan masa berlaku wilayah kerja," jelas Taslim, Rabu (20/7).
Taslim menyebutkan, SKK Migas masih berperan untuk melakukan kalkulasi dan mengkaji kepatutan dari sejumlah insentif yang diajukan oleh Inpex. Hasil kajian nantinya selanjutnya akan diserahkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan juga Kementerian Keuangan yang berperan dalam pemberian insentif perpajakan.
"Itu tergantung dari kerjasama antara Inpex dan SKK Migas dalam mengemukakan argumen dia, yang paling alot investment credit dan tax holiday karena tax holiday itu bukan ranahnya SKK Migas, tapi di Kementerian Keuangan," kata Taslim.
Menurut Taslim, salah satu penyebab alotnya pembahasan adalah harga minyak yang masih rendah sampai saat ini. Dalam rencana pembangunan pengembangan Blok Masela ditetapkan harga minyak dunia sebesar 80 dolar AS per barel.
Fakta yang ada, harga minyak dunia dalam setahun belakangan bahkan sempat menyentuh angka di bawah 30 dolar AS per barel. Ia berharap, pembahasan insentif dan permintaan Inpex lain bisa selesai di akhir tahun ini. "SKK Migas berharap akhir tahun ini sudah disampaikan ke pemerintah," katanya.
Taslim menambahkan, melihat proyeksi harga minyak yang bakal bertahan di kisaran 60 dolar AS per barel hingga 2017 nanti, maka pemberian insentif memang wajar diberikan kepada Inpex. Hanya saja, kelayakannya masih tetap harus dikaji. Inpex pun diminta membuat kajian soal kemungkinan penurunan biaya investasi yang mereka rencanakan.