REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki telah mengeluarkan larangan bepergian keluar negeri untuk sementara bagi civitas akademika, Rabu (20/7). Langkah ini menyusul sejumlah pembersihan oknum yang disebut terkait dengan kudeta. Turki telah memecat lebih dari 50 ribu orang, termasuk 21 ribu guru. Sejauh ini, 1.577 dekan universitas telah diminta mengundurkan diri. Sebanyak 15 ribu pejabat kementerian edukasi juga telah diberhentikan.
Pada Rabu (20/7) Presiden Recep Tayyip Erdogan memimpin pertemuan kabinet dan dewan keamanan nasional di Ankara. Ini adalah pertemuan pertama yang dilakukan setelah mengembalikan kota dari upaya kudeta pada Jumat.
Kontributor BBC, Nick Thorpe di Ankara mengatakan pertemuan ini akan jadi kesempatan pertama Erdogan berbicara pada semua anggota kunci pemerintah dan militer. Tugas Erdogan adalah mengembalikan kestabilan. Ia juga harus memastikan Turki dan sekutu di luar negeri bahwa ia tidak mengesampingkan kritik.
Pascakudeta, pemerintah melakukan pembersihan besar-besaran yang menyita perhatian global. Pemerintah bahkan memperluas jangkauan hingga sektor pendidikan. Bidang ini disebut-sebut sebagai akar dari dukungan terhadap Fethullah Gulen, orang yang disalahkan atas kudeta.
Dewan Pendidikan Tinggi Turki telah meminta rektor-rektor universitas segera memeriksa seluruh personil administrasi dan akademiknya. Laporan apakah mereka terkait dengan organisasi Gulen harus diberikan sebelum 5 Agustus.
Pemerintah Turki menyebut pendukung Gulen masuk dalam Fethullah Terrorist Organisation (Feto). Dewan juga meminta civitas akademika yang telah berada diluar negeri dalam misi bekerja atau belajar harus segera pulang ke dalam negeri.
Reuters melaporkan Dewan juga melarang personil akademik bepergian keluar negeri. Larangan bersifat sementara yang diimplementasikan untuk menghentikan tersangka kudeta melarikan diri.