Kamis 21 Jul 2016 10:51 WIB

Erdogan: Demokrasi Turki tidak Terancam

Rep: Gita Amanda/ Red: Winda Destiana Putri
Recep Tayyip Erdogan (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Recep Tayyip Erdogan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan, demokrasi di Turki tak berada di bawah ancaman. Namun, Erdogan mengatakan akan terus melakukan penangkapan orang-orang yang terkait upaya kudeta gagal pekan lalu.

"Kami akan tetap berada di dalam sistem parlementer yang demokratis, kami tak akan pernah mundur dari itu," kata Erdogan dalam sebuah wawancara khusus dengan Aljazirah, Kamis (21/7).

Namun Erdogan menegaskan segala hal akan dilakukan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas negara. Ia mengekspesikan keraguan bahwa upaya kudeta sepenuhnya telah berakhir.

"Saya tak berpikir kita telah sampai pada akhirnya," ujar Erdogan.

Komentar Erdogan tersebut disampaikan saat menjelang pengumuman keadaan darurat yang akan diberlakukan selama tiga bulan menanggapi kudeta.

Erdogan mengatakan keadaan darurat diberlakukan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam menghadapi ancaman teroris. Ia juga bersumpah 'virus' dalam militer akan 'dibersihkan'.

Dalam wawancara tersebut, Erdogan menggambarkan kudeta sebagai sebuah kejahatan terhadap negara. Ia menambahkan bahwa pemerintah sedang memastikan setiap langkah yang diambil berdasarkan hukum.

Merespon kudeta gagal pada Jumat (15/7) lalu, Turki telah 'membersihkan' 60 ribu orang dari lembaga negara. Hal ini membuat organiasi hak asasi maupun sekutu Turki menyuarakan kekhawatiran mereka. Beberapa mengklaim, Erdogan menggunakan peristiwa ini sebagai legitimasi atas tindakan keras terhadap oposisi.

Erdogan menanggapi kritik tersebut dengan mencontohkan negara lain. Menurutnya negara-negara lain juga mengambil langkah serupa dengan Turki jika terkait ancaman keamanan.

"Sebagai contoh Prancis, apakah mereka tidak menahan orang secar massal? Apakah mereka tak menangkap orang dalam jumlah banyak? Kita tidak dapat menyangkal situasi tersebut. Tiga bulan lalu mereka memberlakukan keadaan darurat, kini diperpanjang," kata Erdogan.

Erdogan juga mengulangi klaimnya yang menuduh ulama Fethullah Gulen dan gerakannya berada di balik upaya kudeta. Ia mengatakan Amerika Serikat melakukan kesalahan besar jika memutuskan tidak mengekstradisi Gulen.

Namun Erdogan menegaskan tak ingin merusak hubungan Turki dengan AS terkait permintaan ekstradisi ini. "Kita perlu lebih sensitif. Hubungan kedua negara didasarkan pada kepentingan, bukan perasaan. Kami adalah mitra strategis," ujarnya.

Presiden Turki itu juga menyatakan keyakinannya bahwa ada negara asing yang kemungkinan terlibat dalam upaya kudeta. Tapi ia menolak menyebutkan nama negara tersebut.

Erdogan juga menegaskan Turki akan mempertimbangkan pemberlakukan kembali hukuman mati. Menurutnya ia akan menyetujui hukuman tersebut jika disahkan parlemen.

Turki telah menghapus hukuman mati pada 2004 di bawah reformasi yang bertujuan memperoleh keanggotaan Uni Eropa. Pemberlakuan kembali hukuman ini dinilai akan menciptakan masalah lebih lanjut antara Uni Eropa dan Turki.

Namun Erdogan bersikeras, keputusan pemberlakukan kembali hukuman mati tak akan mempengaruhi hubungan dengan Uni Eropa. Menurutnya jika Uni Eropa menghormati demokrasi, maka mereka akan menerima kehendak rakyat.

"Dunia ini bukan hanya Uni Eropa. Apakah tidak ada hukuman mati di AS, Rusia, Cina dan banyak negara lain? Ada," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement