REPUBLIKA.CO.ID,//Du di du di dam dam/Du di du di dam///. Suara itu berderap nyaring. Generasi 90-an beruntung masih punya masa kecil yang akrab dengan aneka lagu anak-anak.
Lain halnya, dengan anak-anak zaman sekarang. Bocah yang lahir setelah tahun 2000-an sudah mulai krisis lagu anak-anak. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan pun sudah lagu orang dewasa.
Maka, senandung riang /Du di du di dam/ di tengah hiruk pikuk kendaraan seolah mesin waktu untuk kembali ke dekade 90-an. Seorang tukang odong-odong keliling lah yang menghadirkan suara merdu Enno Lerian itu. Tanpa sadar, dia memperdengarkan kembali berbagai lagu anak-anak ke telinga bocah-bocah kecil.
Duduk di atas kursi odong-odong, bocah empat tahun itu tersenyum keasyikan. Kepalanya bergerak naik turun, mengangguk-angguk mengikuti kayuhan odong-odong. Sang ibu mengawasinya sambil bekerja membereskan tumpukan kertas di depan mesin percetakan. Panas matahari pukul 11.30 WIB siang membakar ubun-ubun.
Ketika lagu kelima berhenti, tukang odong-odong keliling bernama Nur Hidayat (30 tahun) itu berseru memanggil sang ibu. Bocah kecil yang masih asyik itu tampak heran kayuhan odong-odongnya berhenti.
Matanya yang polos menoleh ke belakang memandang si tukang odong-odong. "Sudah. Mau tambah lima lagu lagi nggak?" tawar Nur Hidayat kepada sang ibu.
"Sudah." Nur menjawab sembari mengulurkan lembar uang lima ribuan kemudian bergegas menurunkan anaknya dari kursi odong-odong.
Sebuah odong-odong keliling di tepian kota metropolitan, seperti Kota Bekasi, tentu bukan mainan yang bergengsi. Banyak anak mungkin hanya menjadikannya sebagai bahan ledekan.
Piranti seperti tablet, smartphone, dan laptop jauh lebih akrab dengan generasi 2000-an dibanding odong-odong. Tapi, keriangan odong-odong nyatanya tetap mengundang rasa penasaran yang tak tergantikan bagi anak-anak kecil.
"Alhamdulillah. Ramai aja sih," ucap Nur Hidayat, kepada Republika di Jakarta, Kamis (28/7). Banyak anak kecil kepincut naik odong-odong.
Tidak sedikit, bujangan berumur 30 tahun itu bisa membawa pulang uang sebesar Rp 300 ribu - Rp 500 ribu setiap harinya. Jasa odong-odongnya pun terbilang murah.
Untuk satu lagu, ia hanya memungut uang Rp 1.000 rupiah. Tak ada tarif minimal untuk jasa odong-odongnya. Berapa pun, ia layani.
Nur Hidayat sudah lima tahun keliling bersama odong-odong di seputaran Kota Bekasi. Waktu itu, dia baru saja diputus kontrak dari pabrik tempatnya bekerja.
Tak tahu hendak bekerja apa, lulusan SMP ini kemudian mencoba peruntungan sebagai tukang odong-odong keliling. Ia pun membeli seperangkat odong-odong itu seharga Rp 2,7 juta dari hasil tabungannya selama bekerja di pabrik.
Hanya odong-odong bekas sebab odong-odong baru terlampau mahal bagi kantongnya. "Beli bekas di Tambun Rp 2,7 juta, kalau baru Rp 5 juta. Mahal," tutur dia.
Odong-odong keliling milik Nur Hidayat mempunyai empat bangku. Ada dua bangku berbentuk motor-motoran yang dicat dengan warna merah terang di belakang, serta dua bangku berbentuk bebek warna biru muda di depan.
Terpal berwarna oranye melengkung di atas menaungi anak-anak yang sedang asyik masyuk dari sengatan matahari. Sebuah tape recorder kecil diselipkan di bagian atas. Pedal yang dia kayuh menggerakkan keempat bangku turun naik.
"Lagu /Du Di Dam/, /Potong Bebek Angsa/, /Selamat Ulang Tahun/, banyak. Ada 200 lagu," tutur Nur Hidayat. Nur biasa berkeliling mulai dari rumahnya di Bekasi Barat, berhenti sebentar di sekitar Alun-Alun Kota Bekasi, Kampung 200, Bekasi Selatan, sampai kemudian kembali lagi ke rumahnya yang berada di dekat Tol Bekasi Barat.
Ia sudah keluar tiap pukul 06.00 WIB, dan baru pulang lagi ke rumah saat menjelang maghrib. Lantaran sudah setiap hari keliling, menurutnya, banyak ibu-ibu yang mencari kalau dia libur.
Anak-anak mereka kangen naik odong-odong. /Du di du di dam dam/ di tepi kota metropolitan mungkin memang lekas membawa kerinduan. Sekian tahun mengayuh odong-odong, Nur pun tampak luwes memperlakukan anak-anak kecil. "Saya bercanda-canda. Kalau galak ntar diomelin ibu-ibu, Abang galak amat, Bang," ujar lelaki itu dengan mimik jenaka.