Jumat 29 Jul 2016 22:18 WIB

Sulitnya Padamkan Api di Riau

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Personel Satgas Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) Propinsi Riau menyelesaikan pembuatan Kanal Blocking (Sekat Kanal) di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (11/3).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Personel Satgas Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) Propinsi Riau menyelesaikan pembuatan Kanal Blocking (Sekat Kanal) di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (11/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Satuan tugas pemadam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meminta pemerintah fokus terhadap program pencegahan kebakaran. Selain menelan biaya besar, proses pemadaman karhutla membutuhkan tenaga dan logistik yang tidak sedikit.

Salah satu anggota satgas Mandala Agni Provinsi Riau, Ikhsan Abdilah, mengaku sudah 10 tahun bekerja sebagai pemadam karhutla. Selama kariernya, dia telah melihat kebakaran hutan dalam skala kecil dan skala besar.

"Di Riau sendiri, potensi kebakaran hutan selalu ada setiap tahun. Selain faktor suhu udara yang sangat panas pada musim kemarau, budaya membuka lahan dengan cara membakar masih banyak terjadi," tutur Ikhsan ketika dihubungi Republika, Jumat (29/7).

Ikhsan memaparkan, suhu udara di Riau pada siang hari saat kemarau dapat mencapai 36 derajat celcius. Kondisi suhu memang menurun saat malam, tetapi jika kondisi seperti itu bertahan selama lima hari saja, dapat dipastikan banyak titik panas (hotspot) bermunculan.

Titik panas dapat menjadi titik api saat dipicu kemunculan sumber-sumber api seperti pembakaran sampah, puntung rokok atau pembakaran lahan dengan sengaja. Membuka lahan dengan membakar, tutur Ikhsan masih menjadi pilihan utama masyarakat ketika akan memulai  ladang atau kebun baru.

Untuk membuka satu hektar lahan tanpa membakar, dibutuhkan biaya sekitar Rp 5 - Rp 6 juta. Biaya itu digunakan untuk pengoperasian alat berat berupa ekskavator. Alat berat diperlukan karena kondisi lahan penuh dengan pepohonan berdiameter sedang hingga besar.

"Bayangkan, satu hektar lahan dipenuhi pepohonan besar berdiameter rata-rata 30 meter. Belum lagi keberadaan semak belukarnya. Karena itu, agar lebih murah dan efektif, pembakaran tetap menjadi pilihan utama saat akan membuka lahan," kata Ikhsan.

Pada 2015 lalu, kondisi ini menyebabkan kebakaran besar di Riau. Sedikitnya ada 800 hektare lahan di tiga lokasi yang mengalami kebakaran, yakni di Kabupaten Siak, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Plelawan. Menurut Ikhsan, dampak kebakaran menjadi lebih luas akibat adanya karhutla yang terjadi di Jambi dan Sumatera Selatan. Karena itu, proses pemadaman karhutla secara total pada 2015 cukup sulit dilakukan.

Selain terkendala angin, proses pemadaman juga terhambat ketersediaan air. Ikhsan mengatakan, untuk memadamkan satu hektar lahan dibutuhkan ratusan liter air. Sebab, agar lekas padam, penyiraman air harus difokuskan setiap lima meter lahan.

Saat itu, peralatan pemadam dan sumber air relatif masih minim. "Sebenarnya hingga saat ini pun peralatan dan tenaga pemadam masih perlu ditambah. Karena itu, kami lebih banyak mensiasati dengan strategi pencegahan titik panas agar tidak menjadi titik api. Kami pun berharap program pemerintah pusat difokuskan kepada pencegahan karhutla, " tegas Ikhsan.

Pihaknya menyarankan pemerintah lebih gencar melakukan sosialisasi sistem pembukaan lahan kepada masyarakat. Masyarakat, ujarnya, harus mulai diarahkan untuk melihat kerugian besar dan dampak jangka panjang pembukaan lahan jika dilakukan secara jangka panjang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement