REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara sekaligus pegiat HAM Todung Mulya Lubis berpendapat kasus Koordinator Kontras Haris Azhar, yang dilaporkan oleh TNI, Polri dan BNN ke Bareskrim Polri, mirip dengan tuntutan Soeharto terhadap majalah Time.
"Kasus yang terjadi pada tahun 1999 itu bisa menjadi rujukan persoalan yang menimpa Haris Azhar," ujar Todung dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (8/8).
Pada tahun tersebut, majalah Time digugat oleh Presiden kedua RI karena terbitan Edisi Asia tanggal 24 Mei 1999 Vol. 153 No. 20 menurunkan berita dengan judul sampul?"Suharto Inc. How Indonesia's longtime boss built a family fortune". Saat itu penggugat, dikutip dari laman lembaga penelitian hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menganggap informasi tersebut tendensius, menyindir atau menuduh secara tidak langsung (insinuatif) dan provokatif. Penggugat atau Soeharto menganggap Time melanggar KUHPerdata pasal 1365 dan dan pasal 1372 KUHPerdata, terkait perbuatan melanggar hukum yaitu penghinaan.
Namun, pada akhirnya Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung menolak semua tuntutan Soeharto. Putusan MA No 273 PK/PDT/2008 menyatakan, selain dari pertimbangan sisi jurnalistik, tergugat atau majalah Time disebut telah mengeluarkan pemberitaan yang mempunyai unsur untuk kepentingan umum.
Menurut Todung, sisi kepentingan publik inilah yang harus dipertimbangkan dalam kasus Haris Azhar. Sebagai pengacara yang aktif dalam LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris dianggapnya memiliki kewajiban hukum untuk mengangkat kasus mafia narkoba, yang sesuai dengan keadaan darurat narkoba di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo.
"Tentang tugas-tugas pengacara seperti Haris yang disebut 'public interest lawyer' ini memang belum banyak dibahas di Indonesia. Pengacara seperti ini tidak terkait dengan klien, tetapi isu yang menyangkut kepentingan umum," tutur Todung.