REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah membacakan putusan terkait gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT National Sago Prima (NSP) pada Kamis (11/8) lalu.
Kuasa hukum KLHK Patra M Zen mengapresiasi putusan majelis yang diketuai hakim Nani Indrawati (yang digantikan Effendi Mochtar) tersebut. Persidangan telah berlangsung sejak 17 November 2015. Patra menuturkan, banyak dalil yang digunakan dalam persidangan tersebut, antara lain UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup.
'Putusan PN Jaksel Bersejarah untuk Kasus Lingkungan Hidup'
Namun, dia menegaskan, putusan majelis hakim PN Jaksel itu dinilai memuaskan lantaran ikut merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.
Patra menjelaskan, dalam Permenhut Nomor 12/2009 itu disebutkan, perusahaan pemegang konsesi wajib bertanggung jawab atas kesalahan dan/atau kelalaian yang menyebabkan terjadinya kebakaran di atas lahan yang diolahnya.
Sehingga, bila kebakaran terjadi di atas lahan konsesi, perusahaan harus sungguh-sungguh memadamkannya, tidak boleh menunggu terlebih dahulu siapa yang melakukan pembakaran.
Karenanya, Patra berharap, semua majelis hakim pengadilan negeri juga memerhatikan Permenhut Nomor 12/2009, sebagaimana PN Jaksel dalam membuat putusan tersebut.
“Kalau semua majelis hakim mengikuti putusan ini, maka tak ada lagi perusahaan yang berdalih. Dan tentu ini justru mendorong perusahaan untuk lebih baik mencegah kebakaran lahan terjadi (karena) biayanya lebih murah (ketimbang berperkara),” kata Patra M Zen saat ditemui di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Jumat (12/8).
Berdasarkan amar putusan, PT NSP diwajibkan antara lain membayar ganti rugi sebesar lebih dari Rp 319 miliar (Rp 319.168.422.500). Fakta persidangan menunjukkan, PT NSP terbukti tak serius dalam melakukan pencegahan. Sehingga, agar lahan yang dikelolanya mengalami kebakaran secara meluas.
Kalaupun PT NSP memadamkan kobaran api, lanjut Patra, hal itu hanyalah upaya kosmetik alias tidak sungguh-sungguh. Padahal, wilayah hutan dan/atau lahan konsesi yang terbakar sudah seluas tiga ribu hektare.
Saksi dari pihak PT NSP sendiri yang mengungkapkannya. Patra menuturkan, saksi tersebut menjelaskan bahwa ada ketersediaan helikopter pemadam api, mulai dari yang berkapasitas besar, menengah, hingga kecil.
Namun, PT NSP diketahui hanya menyewa helikopter berkapasitas kecil karena itulah yang biaya sewanya paling murah.
“Itu dalam persidangan, kita bisa membuktikan bahwa perusahaan (PT NSP) tidak melakukan pencegahan. Perusahaan sudah tahu terjadinya kebakaran, tetapi dia tidak mengupayakan pemadaman secara optimal,” papar Patra.