REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembentukan holding BUMN tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Malahan, pembentukannya justru mendesak dan sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. “Tidak ada satu pun yang dilanggar. Bahkan, pembentukan holding adalah perwujudan amanah konstitusi yang merupakan landasan hukum tertinggi di negara kita,” kata pakar hukum energi Universitas Indonesia Wasis Susetyo kepada wartawan, Senin (22/8).
Sebelumnya, ekonom Faisal Basri mengatakan, selain banyak menabrak aturan hukum, proses inbreng saham dalam holding BUMN juga tidak lazim dilakukan di dunia korporasi dan investasi. Menurut Wasis, tak ada yang salah dengan inbreng saham. Sebab, holding berbeda dengan merger atau akuisisi yang dapat 'mematikan' badan usaha lain. Sedangkan dalam holding, baik PGN maupun Pertamina masih tetap ada dan beroperasi sebagaimana biasa.
Yang berbeda, menurut Wasis, hanya perencanaan, koordinasi, dan pengendalian yang sekarang berada di bawah holding. “Jadi inbreng tidak selalu terhadap aset, SDM, atau uang tunai. Inbreng saham juga bisa, karena inbreng hanya diperlukan untuk membuat payung hukum,” kata Wasis.
Menurut Wasis, peraturan pemerintah (PP) tentang holding BUMN Migas juga tidak bertentangan dengan berbagai UU. Bahkan terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, PP tersebut juga tidak bertentangan. Menurut Wasis, meski UU tersebut meliberalisasi sisi hulu dan hilir, namun tidak satu pasal pun yang melarang sisi hulu dan hilir dipegang oleh satu BUMN. “Tidak ada larangan seperti itu,” kata dekan Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul tersebut.
Peneliti LPSE Universitas Gadjah Mada (UGM) Tonny Prasetyantono mengatakan, holding BUMN Migas memiliki nilai sangat strategis untuk ketahanan dan kedaulatan energi. Pasalnya, dengan holding maka akan meningkatkan kapital yang sangat dibutuhkan dalam persaingan di level global. “Mesinnya akan jauh lebih besar. Ini penting untuk menghadapi persaingan di level global agar lebih kompetitif,” kata Tonny.