REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Belanda melalui kementerian pertahanan melansir sedikitnya 350 nama baru kemungkinan korban agresi militer Belanda sepanjang 1945-1947. Dalam laporan media setempat, NRC.nl yang diterbitkan pada Kamis (25/8), 350 nama merupakan korban pembantaian di Sulawesi Selatan oleh pasukan Depot Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling.
Kendati demikian, dalam laporan berjudul 'Lijst namen slachtoffers Indië openbaar', pemerintah Belanda--yang mendapatkan nama-nama tersebut juga dari Institut Belanda untuk Sejarah Militer, belum berkenan mengungkapkan secara detail nama-nama korban. "Karena pertimbangan privasi," ujar juru bicara kementerian.
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)--yang bergerak dalam upaya penuntutan hak atas korban agresi militer Belanda, menuntut pemerintah Belanda menindaklanjuti secara serius daftar korban tersebut. Presiden KUKB, Jeffry Pondaag meminta pemerintah Belanda tidak menjadi pengecut untuk bertanggung jawab. Keluarga korban pembantaian Westerling, kata dia, menanti iktikad baik pemerintah Belanda aktif menghubungi kerabat para korban pembantaian Westerling di Indonesia.
"Sudah saatnya Indonesia tak lagi dipandang kecil, kita adalah negara yang berdaulat," ujar Jeffry Poondag, dalam sambungan telepon dari Belanda kepada Republika, Ahad (28/8).
Jeffry menambahkan, kasus ini juga menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia merespons secara tegas tentang tragedi yang terjadi di masa lalu. Sebelumnya, pada September 2013, Duta Besar Belanda di Jakarta sudah menyampaikan permintaan maaf pascatuntutan hukum lebih dari tiga puluh kasus pembantaian Westerling. Sedikitnya ganti rugi senilai dua ribu euro diberikan kepada janda-janda korban. Menurut Jeffry, pemerintah Belanda harus dituntut lebih jauh untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
"Permintaan maaf yang disampaikan terbuka, diketahui dunia Internasional, dan bukan tanpa tekanan pengadilan," tegas Jeffry.
Sementara itu, pengacara KUKB, Liesbeth Zegveld yang membantu KUKB di sejumlah pengadilan, mengaku tidak terkesan dengan publikasi nama-nama baru tersebut. "Kementerian sudah diperintahkan untuk mengungkapkan kasus tersebut pada tahun-tahun sebelumnya," kata Zegveld.
Pada Juni tahun lalu, telah terungkap dalam publikasi melalui korespondensi website, bahwa kementerian memiliki lebih banyak nama korban pembantaian. Hanya saja, pemerintah baru akan mengakui secara terbuka sebelum memerintahkan sejumlah pihak mengungkapkan bukti yang mendasari.