REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pertemuan para pemimpin dunia dalam KTT G20 di Hangzhou, Cina memberikan sejumlah kesimpulan bahwa ekonomi global saat ini berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Sejumlah kebijakan harus diberikan oleh negara-negara, khususnya 19 negara yang tergabung dalam forum kelompok kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu untuk memperbaiki kondisi.
Cina dan Amerika Serikat (AS) mengumumkan meratifikasi perjanjian perubahan iklim Paris. Langkah ini sangat siginfikan untuk kedua negara yang merupakan penghasil emisi gas kaca terbesar di dunia tersebut.
Baca: KTT ASEAN di Laos Dimulai
Dalam puncak pertemuan KTT G20 pada Senin (5/9), Cina sebagai tuan rumah bisa dikatakan sukses menyelenggarakan acara. Namun, tidak semua berjalan lancar. Hal ini terjadi setelah adanya gangguan dari Korea Utara yang melakukan uji coba rudal balistik.
Demikian dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang mengadakan pertemuan di sela-sela acara. Kedua negara yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov gagal mencapai kesepakatan atas Suriah serta masalah proteksionisme atau kebijakan ekonomi yang mengetatkan perdagangan antar negara.
Baca: Jokowi Hadiri Pembukaan KTT ASEAN Laos
Media pemerintah Cina sebagian besar memuji puncak pertemuan para pemimpin dunia di negara itu dengan bangga. Tidak ada bayangan mengenai sejumlah masalah yang belakangan terkait dengan Negeri Tirai Bambu itu, mulai dari sengketa Laut Cina Selatan hingga upaya Barat yang kerap menghalangi ambisi ekonomi negara tersebut.
"Untuk semua negara maju utama dunia, sudah seharusnya proteksionisme dikekang dan membongkar tindakan antiperdagangan sebagai isolasi ekonomi karena itu bukan solusi dalam keadaan pertumbuhan yang lamban," ujar pernyataan dari pemerintah Cina dikutip kantor berita Xinhua, Senin (5/9).