REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir mengatakan sejak awal pertemuan antara mantan Ketua DPR Setya Novanto, Riza Chalid dan Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin belum bisa dikategorikan sebagai pemufakatan jahat.
Menurutnya hal tersebut bukan soal karena Setya Novanto tak punya kewenangan, melainkan karena tidak ada kelanjutan atau bahkan meeting of mind (kesepahaman) yang timbul atas pertemuan tersebut.
"Kalau menurut saya, saya katakan kasus Novanto itu tidak bisa disebut pemufakatan jahat, terlalu jauh untuk mufakat jahat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (8/9).
Oleh karena itu, ia menilai wajar jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh gugatan uji materi atau judicial review (JR) terkait penafsiran "pemufakatan jahat" yang diajukan Ketua Umum Golkar itu.
Muzakir melanjutkan, saat ini Setnov memiliki kekuatan hukum untuk menggugat pihak yang merekam pertemuan kasus 'papa minta saham', dengan berpegangan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu. Ia menambahkan, rekaman pembicaraan kasus 'papa minta saham' belum sah secara hukum.
"Rekaman itu belum sebagai tindak pidana. Novanto punya legal standing untuk menggugat orang yang merekam itu. Itu delik personal, tergantung dari Novanto mau menggugat atau tidak," katanya.