REPUBLIKA.CO.ID, PAMULANG— Salah satu pelajaran berharga dari ibadah berqurban adalah bagaimana mendudukkan kecintaan seorang hamba kepada dunia, harta, dan anak secara proporsional serta seimbang antara cinta dan tanggung jawab.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asrorun Ni’am Sholeh, mengatakan di samping sebagai amanah, anak adalah karunia Allah SWT yang harus disyukuri. Anak merupakan penerus garis keturunan yang dapat melestarikan pahala bagi kedua orang tua sekalipun orang tua yang sudah meninggal.
Dalam realitas kehidupan keseharian, ungkap dia, banyak orang jatuh karena ketidakmampuan menunaikan tanggung jawab terhadap anak.
Di tengah masyarakat seringkali anak menjadi faktor pemicu konflik, terjadi rebutan kuasa asuh saat perceraian, konflik bertetangga akibat ingin membela anak, hingga konflik dengan sekolah dan lingkungan akibat cinta buta terhadap anak.
“Salah perlakuan terhadap anak juga seringkali kemudian memicu terjadinya kekerasan, permusuhan, sampai pembunuhan,” katanya saat menyampaikan khutbah Idul Adha di Masjid Jami' al-Hidayah Pamulang, Senin (12/9).
Asrorun mengatakan akibat tanggung jawab tidak dilaksanakan secara baik, maka tidak jarang anak yang ditelantarkan oleh orang tua, dieksploitasi secara ekonomi, dilacurkan, dan segala bentuk kriminalitas yang lain.
Bahkan, tidak jarang, akibat tidak adanya pengawasan secara baik dari kita, anak-anak bisa terlibat tawuran, pergaulan bebas, dan juga narkoba.
Kasus perceraian yg terus meningkat tiap tahun, yang hingga akhir tahun 2015 sudah menembus lebih 400 ribu kasus semakin merentankan ketahanan keluarga dan perlndungan anak.
Menurut Asrorun yang juga Sekretaris Komisi Fatwa MUI ini, kisah Ibrahim AS memberikan keteladanan kepada tentang pentingnya mendengar pendapat anak.
Cara komunikasi orang tua dengan anak dibangun dengan cara dialogis, dan memandang anak sebagai makhluk unik, yang memiliki rasa serta pandangan.
Sungguhpun Ibrahim sadar bahwa apa yang diimpikannya adalah wahyu dari Allah SWT, ia tetap mengkomunikasikannya dengan ananda Ismail, karena ini terkait dengan eksistensi dirinya. “Hasil didikan dari keluarga yang baik menghasilkan generasi yang baik dan taat,” tuturnya.
Simaklah, ajak Asrorun, bagaimana Ibrahim AS, mencontohkan panggilan sayang seorang ayah ke anak, saat mengomunikasikan perintah Allah untuk menyembelih Ismail.
Saat itu, Ibrahim menggunakan kalimat terpilih yaitu ya bunayya (wahai anakku), panggilan kasih dar iayah kepada bapaknya. Jauh dari bullying. Frase yg lain adalah “Fanzhur maa dzaa taraa” (bagimana pendapatmu) menunjukkan penghargaan terhadap pendapat dan akal budi dari Ismail.
Dengan proses komunikasi yang demikian, menurut Asrorun, akan terlahir penghormatan dan keakraban antara anak dengan orang tua. Dan hasilnya, sungguh luar biasa, Ismail justru meminta ayahnya untuk segera menunaikan perintah-Nya.
Di saat yang sama, ujar Asrorun, ibunda Ismail, Hajar, sempat digoda iblis untuk mengurungkan niat suaminya tersebut.
Tetapi godaaan Iblis tidak mempan, malah Siti Hajar melempari Iblis dengan batu batu kerikil. Kemudian kelak peristiwa ini diabadikan dalam ritual haji (lempar jumrah).
Asrorun menegaskan Hajar adalah teladan ibu sukses yang memberikan pengasuhan secara baik, dan sukses menjaga harmoni dan tetap dalam ketaatan, menjadi pilar utama dalam dakwah dan tegaknya ajaran agama.
“Pola ideal relasi hubungan antaranggota keluarga, yang harus saling mendukung dan menjalankan tanggung jawabnya.”