REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak gugatan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait uji materi aturan cuti petahana yang diatur Pasal 70 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Ia menilai argumentasi yang dikemukakan oleh Ahok dalam gugatan ini tak masuk akal.
"Izinkan saya memohon untuk menolak seluruh yang diajukan pemohon (Ahok)," kata Yusril di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/9).
Menurut Yusril undang-undang pilkada yang dipermasalahkan oleh Ahok sudah mengatur secara jelas terkait aturan pilkada. Dalam pasal 70 ayat 3 UU no 10/2016 secara jelas menyebut seluruh pejawat yang mencalonkan kembali di daerah yang sama selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan. Salah satunya yakni menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Pelaksanaan pilkada dengan aturan tersebut pun disebutnya juga tak bertentangan dengan aturan hukum lainnya dan dilaksanakan secara demokratis. "Apakah kalau petahana (pejawat) cuti di luar tanggungan negara maka akan berakibat pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi tidak demokratis? Sebagai gubernur DKI yang sedang menjabat dan potensial menjadi petahana, apakah pilgub DKI menjadi tidak demokratis karena pemohon cuti diluar tanggungan negara?," kata dia.
Selain itu, Yusril juga menilai membandingkan kedudukan presiden dan gubernur dalam hal cuti pejawat tidaklah relevan. Yusril beralasan, presiden memiliki kewenangan strategis yang berbeda dengan gubernur, yakni terkait keamanan negara.
"Saya berpendapat, tidaklah ada ketidaksamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan antara presiden dan gubernur dalam hal cuti sebagai petahana," jelas Yusril.
Sebab itu, jika Mahkamah Konstitusi (MK) menerima judicial review dari Ahok maka justru akan memberikan ketidakadilan bagi penantangnya. Ia menilai, calon gubernur pejawat memiliki berbagai macam akses serta fasilitas. Berbeda dengan calon gubernur yang bukan pejawat.