REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gerakan biopori yang diluncurkan 2014 lalu oleh Pemkot Bandung mandek atau jalan di tempat. Karena, hingga saat ini program tersebut sudah tidak didengar lagi gaungnya di masyarakat.
"Masyarakat harus kembali di'-geuingkeun' (dibangunkan,red), untuk kembali membuat lubang biopori," ujar Kepala Sub Bidang Program evaluasi dan Pelaporan, BPLH Kota Bandung Sofyan Hernadi, kepada wartawan Kamis (15/9).
Sofyan mengatakan, hingga sekarng ada 250 lubang yang sudah dibuat masyarakat di Kota Bandung. Namun, kondisinya banyak lubang bipori yang tertutup kembali. "Jadi gerakannya bukan tidak jalan, hanya memang lubangnya tertutup lagi," kata Sofyan.
Sofyan mengatakan, sebenarnya pembuatan lubang biopori bukan untuk resapan air. Namun, untuk mengubah sampah menjadi pupuk. "Kalau urusan bisa menjadi resapan air, itu karena ada lubangnya. Jadi bisa meresap," katanya.
Di Balaikota sendiri, kata Sofyan lubang biopori tertutup oleh pembangunan baru yang belakangan banyak dilakukan.
"Ya saya masih belum tahu, bagaimana lubang biopori, setelah melakukan pembangunan," katanya.
Menurut Sofyan, pihaknya sudah menyiapkan peralatan untuk membuat lubang biopori. Peralatan itu, bisa dipinjam masyarakat yang ingin membuat lubang biopori. "Jadi untuk masyarakat yang ingin membuat lubang piopori, tapi tidak punya alat, bisa pinjam ke kami," katanya
Sofian mengakui, saat ini salah satu masalah Bandung adalah ketersedian air. Karena, saat ini kegiatan komersil pengambilan air tanah pengelolaannya dilakukan oleh provinsi. "Ini, kami monitoring. Lagi dibahas apakah muka air tanah semakin menurun," ujar Sofian.
Sofian mengatakan, kalau kondisi air tanah semakin menurun maka harus dilakukan konservasi lagi agar air tanah terisi kembali. Di antaranya, ada program sumur resapan, biopori, dan BPLHD Kota Bandung juga melakukan pemnatauan ke pengusaha yang menggunakan air tanah.
Penurunan muka air tanah, kata dia, akan selalu dijaga jangan sampe terjadi. Karena, air tanah ada di lapisan paling dalam. Jadi, untuk mengetahui ada penurunan atau tidak harus dibuat sumur pantauan. "Jadi dari direktorat geologi, targetnya 0,01 dinaikkan dibawah muka air tanah," katanya.
Menurut Sofian, menaikkan muka air tanah itu berat. Karena, Kota Bandung berada di cekungan jadi air tak kemana-mana. "Nggak bisa dipantau penurunan. Ada peak hour," katanya.
Dikatakan Sofian, upaya yang dilakukannya adalah bagaimana pengambil air tanah ini harus diimbangi dengan konservasi. Yakni, harus membuat sumur imbuhan dilakukan dengan mendaur ulang air atau dari air hujan.
Sofian menilai, harus ada revisi tentang Perda Pengelolaan air bawah tanah. Karena, yang mengeluarkan izin provinsi sementara lokasinya ada di Kota Bandung. Jadi, Pemkot Bandung hanya bisa mengendalikan. Saat ini jumlah pengambilan air bawah tanah berdasarkan izin keluar ada 800. "Itu izinnya titiknya bisa lebih, harus dicek satu-satu," katanya.