REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Enam tahun pascahijrah dari Madinah, Rasulullah SAW dan para sahabat ingin kembali ke tanah kelahirannya, Kota Makkah. Sekitar 1.600 sahabat bersama Rasulullah SAW berniat melakukan umrah dan mengunjungi Ka'bah. Namun, saat itu, Makkah masih dikuasai oleh kaum kafir Quraisy.
Rasulullah SAW tidak menginginkan terjadinya perang. Beliau khawatir jika kamu Quraisy menyeretnya untuk berperang atau menghalangi kaum Muslimin untuk berziarah ke Ka'bah. Ketika Rasulullah bersama para sahabat tiba di Hudaibiyah, kota yang terletak di perbatasan Makkah, Beliau SAW sempat meminta Umar bin Khattab untuk berbicara kepada kaum Quraisy.
Namun, lantaran merasa bakal ditolak oleh kaum Quraisy, Umar bin Khattab akhirnya mengusulkan kepada Rasulullah SAW untuk mengutus Utsman bin Affan. Lantaran, Utsman bin Affan dianggap lebih dihormati di kalangan kaum Quraisy.
Rasulullah SAW akhirnya mengutus Utsman bin Affan untuk berbicara kepada Abu Sufyan, petinggi kaum Quraisy pada saat itu. Utsman diminta menyampaikan niat Rasulullah SAW dan sahabat ke Makkah bukan untuk berperang, melainkan ziarah ke Baitullah. Namun, setelah menunggu sekian lama, Utsman bin Affan tidak juga kembali rombongan. Akhirnya, terdengar kabar, Utsman bin Affan telah dibunuh oleh kaum Quraisy.
Mendengar kabar ini, Rasulullah SAW pun bersabda, "Kita tidak akan pergi sebelum memerangi kaum Quraisy." Kemudian Rasulullah SAW mengajak para sahabat, yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin itu, untuk berkumpul di bawah sebuah pohon di dekat telaga guna berbaiat untuk mati membela agama dan Rasul-Nya. Baiat ini pun dikenal dengan Baiat Ridhwan. Peristiwa ini terjadi pada tahun enam Hijriyah, atau pada tahun yang sama dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Allah SWT pun telah ridha dengan semua sahabat yang melakukan Baiat Ridhwan tersebut. Dalam surah al-Fath ayat 18, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya, Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) serta harta rampasa yang banyak, yang dapat mereka ambil. Dan Adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Tidak hanya itu, keridhaan Allah SWT itu ditambah pula dengan kehormatan yang disampaikan Rasulullah SAW terhadap para sahabat tersebut. Jaminan surga pun seolah diterima oleh para sahabat yang berjanji setia untuk membela agama Allah tersebut. "Insya Allah tidak seorang pun dari ashhab syajarah, yakni mereka yang berbaiat di bawah itu, masuk neraka," sabda Rasulullah SAW.
Di antara para sahabat yang melakukan Baiat Ridhwan itu ada seorang perempuan. Dia adalah ar-Rabi binti Muawwadz atau nasabnya adalah ar-Rabi binti Muawwadz bin Harits bin Rifaah bin Harits bin Sawad al-Anshariyyah an-Najadiyah. Ibunya adalah Ummu Yazid binti Qais bin Za'wa bin Haram bin Jundub bin an-Najjar.
Ar-Rabi adalah salah seorang perempuan yang paling awal masuk Islam. Dia dikenal sebagai perempuan yang memiliki kesungguhan dalam beriman, akidah yang kokoh, dan berpandangan lurus. Tidak hanya itu, Ar-Rabi adalah perempuan yang dididik di atas iman dan cinta kepada Allah serta Rasul-Nya. Ar-Rabi juga meriwayatkan beberapa hadis dari Rasulullah SAW dan beberapa orang tabiin yang meriwayatkan darinya.
Diceritakan dari Ibnu Ubaidah bin Muhammad, suatu hari, ia meminta kepada ar-Rabi binti Muawwadz untuk memberikan gambaran tentang Rasulullah SAW. Dia menjawab, "Wahai anakku, andai engkau melihat Beliau, niscaya engkau laksana melihat matahari terbit."
Dalam riwayat lain, ar-Rabi binti Muawwadz juga sempat menggambarkan tentang wudhu Rasulullah SAW. "Rasulullah SAW mendatangi kami kemudian menyuruhku: 'Tuangkanlah air wudhu untukku.' Kemudian ar-Rabi berkata: 'Beliau mencuci kedua telapak tangan tiga kali, berkumur dan menghirup air dengan hidung satu kali, membasuh wajah tiga kali, lalu membasuh kedua tangan tiga kali, mengusap kepala dua kali yang dimulai dari bagian depan kepala lalu ke belakang (dan dikembalikan lagi ke depan), lalu membasuh kedua telinga secara bersamaan, baik bagian dalam maupun luar, dan terakhir membasuh kedua kali tiga kali-tiga kali'."
Selain itu, ar-Rabi juga terlibat dalam sejumlah peperangan melawan kaum kafir. Dia ikut andil untuk menyediakan minuman bagi para prajurit Muslim dan membantu memulangkan mereka yang terluka dan meninggal dunia ke Madinah. Kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya memang tidak bisa disangsikan lagi. Bahkan, lantaran begitu mencintai Rasulullah SAW, ar-Rabi sempat memberi nama anaknya Muhammad.
Ar-Rabi menikah dengan Iyas bin Bakir dari Bani Laits dan memiliki satu anak bernama Muhammad bin Iyas. Ar-Rabi binti Muawwadz dapat menjadi contoh bagi kaum Muslimah dalam menjalani kehidupan sebagai perempuan yang bertakwa dan kebajikannya dalam ilmu agama. Ar-Rabi binti Muawwadz meninggal dunia pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 45 H.