Rabu 28 Sep 2016 17:33 WIB

Industri Rokok Belum Siap PPN Langsung 10 Persen

Rencana Kenaikan Harga Rokok. Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Rencana Kenaikan Harga Rokok. Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) menolak rencana pemerintah untuk mengutip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok sebesar 10 persen pada saat produk tersebut keluar dari pabrik. Plus 10 persen lagi, saat pedagang besar menjual rokok ke pengecer atau masyarakat.

Tahun ini PPN rokok sudah dinaikkan dari sebelumnya 8,4 persen di 2015 menjadi 8,7 persen di Januari 2016. Tahun depan, PPN rokok dijadwalkan naik menjadi 8,9 persen. Pada 2018 baru naik menjadi 9,1 persen.

Terkait kebijakan ini, industri telah menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Kebijakan tersebut dinilai sebagai inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang sudah diterapkan dan disepakati sebelumnya.

"Dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) yang membidangi pajak disebutkan tahun depan ini sebetulnya di angka 8,9 persen. Jadi tahapan yang hasil pembicaraan dengan asosiasi itu dilanggar sendiri oleh pemerintah," kata Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Suharjo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/9).

Suharjo menganggap, percepatan kenaikan PPN ini dikarenakan pemerintah panik target pemasukan pajak sulit tercapai yang berpotensi terjadinya shortfall yang besar. "Efeknya merugikan pelaku industri," katanya.

Karena itu, Suharjo berharap pemerintah tetap konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. "Kesepakatan itu ada kronologi dan history-nya. Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari," ujar Suharjo.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah berencana mengutip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok sebesar 10 persen saat produk tersebut keluar dari pabrik. Itu masih ditambah 10 lagi saat pedagang besar menjual rokok ke pengecer atau masyarakat.

Suahasil mengatakan, skema ini diambil pemerintah agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat meningkatkan basis data perpajakan melalui nomor pokok wajib pajak (NPWP) perusahaan-perusahaan pendukung industri rokok.

Suahasil mengatakan, sistem tersebut sudah dikomunikasikan ke industri tembakau. Industri, kata Suahasil, siap tapi butuh waktu dari sisi rantai produksinya agar semuanya taat pajak.

Karena itu, Suharjo berharap pemerintah tetap konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. "Kesepakatan itu ada kronologi dan history-nya. Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari," ujar Suharjo.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement