REPUBLIKA.CO.ID, SOFIA -- Parlemen Bulgaria melarang pemakaian cadar di tempat umum. Bahkan, mereka mengaku kebijakan itu untuk meningkatkan keamanan Bulgaria, usai sejumlah serangan teroris terjadi di Eropa.
Hukum larangan cadar didorong koalisi nasionalis Front Patriotik, yang menggemakan langkah serupa di negara-negara Eropa barat. Bahkan, Prancis, Belanda dan Belgia sudah mulai memiliki undang-undang yang melarang pemakaian cadar, niqab atau burqa.
Mereka yang melanggar larangan akan dikenakan denda sampai 860 dolar AS, serta suspensi dari tunjangan sosial. Kebijakan ini langsung menuai penolakan, seperti dari Turkish Movement for Rigth and Freedom, yang akhirnya menolak ikut pemilihan umum.
Kebijakan itu dinilai akan memicu intoleransi etika dan agama di Bulgaria, walau partai penguasa berdalih larangan itu tidak berhubugnan dengan agama. "Hukum tidak ditujukan terhadap komunitas agama dan tidak represif," kata Parlemen Senior Partai GERB, Krasimir Velchev, Seperti dilansir Huffington Post, Selasa (4/10).
Hukum itu menekankan, pakaian yang menyembunyikan wajah tidak dapat digunakan di kantor pemerintah, sekolah, lembaga kebudayaan dan tempat rekreasi. Pengecualian cuma diperbolehkan untuk alasan kesehatan dan profesional.
Sementara, Amnesty Internasional sudah menegaskan larangan itu melanggar hak-hak perempuan Bulgaria, untuk kebebasan berekspresi dan beragama. Mereka merasa kebijakan itu bagian dari tren intoleransi, xenophobia dan rasisme di Eropa.
"Perempuan di Bulgaria harus bebas untuk berpakaian sesuka mereka, mengenakan burqa atau niqab sebagai eksepresi identitas atau keyakinan mereka," ujar Direktur Amnesty International Eropa, John Dalhuisen.
Muslim di Bulgaria sendiri berjumlah sekitar 12 persen dari 7,2 juta penduduk, yang sebagian besar berasal atau memiliki etnis Turki. Namun, kehadiran pengungsi di Eropa belakangan membuat kekhawatiran tidak berasalan masyarakat Eropa, termasuk Bulgaria.