REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi yang dihasilkan dari kelapa sawit Indonesia disebut-sebut memicu kekhawatiran dan menganggu pengelolaan perkebunan nabati lain seperti kedelai dan minyak bunga matahari milik negara-negara kawasan Eropa dan Amerika. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gus Dalhari Harahap mengatakan, negara-negara di Eropa dan Amerika coba menyingkirkan kelapa sawit Indonesia.
Salah satunya dengan mengintervensi aturan Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) dan High Conservation Value (HCV). Padahal, kata dia, Indonesia telah menerapkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang wajib ke seluruh perusahaan kelapa sawit di Tanah Air.
"Kelapa sawit di Indonesia, areal lahannya kecil namun produktivitasnya tinggi, sedangkan minyak nabati lainnya itu di Eropa dan Amerika, lahannya luas tapi produktivitas rendah, bahkan sering rugi," ujar Gus Dalhari Harahap, dalam keterangan pers, Jumat (11/11).
Negara-negara di Eropa dan Amerika itu, ucap Dalhari, ingin harga produksi minyak kedelai maupun bunga mataharinya tetap mahal di level perdagangan global. Selain itu, Eropa dan Amerika juga menginginkan terjadi keseimbangan harga antara minyak kelapa sawit dengan kedelai dan bunga matahari.
"Jadi ini dilakukan supaya harga produksi perkebunan mereka tidak jatuh sekali. Apalagi sekarang kelapa sawit amat diminati di perdagangan global," kata Dalhari menambahkan.
Selanjutnya, kata dia, kampanye negatif juga dilakukan negara-negara kawasan Eropa dan Amerika untuk menggusur bisnis kelapa sawit Indonesia di level global. Ada saja isu yang digulirkan seperti soal lingkungan hidup, kebakaran hutan, efek rumah kaca, dan tidak berkelanjutan. "Padahal selama ini petani kelapa sawit Indonesia tidak mengganggu alam. Perkebunan kelapa sawit amat memperhatikan keberlanjutan lingkungan," ujar Dalhari.
Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) merilis, ekspor kelapa sawit Indonesia pada Januari hingga Agustus 2016 mampu menembus 26 negara dengan jumlah mencapai 28 juta ton. Kondisi tersebut mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun 2015, yaitu 13 negara saja.