REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Muak dengan sikap Presiden AS terpilih Donald Trump, unjuk rasa terus terjadi di kota-kota besar di Amerika. Pengunjuk rasa takut masa depan Amerika tak jelas dan kekerasan akibat rasialisme meningkat.
Seorang pengunjuk rasa, Virginia Jimenez (45 tahun) dari Long Island mengatakan ia harus melakukan unjuk rasa menentang pernyataan Trump. "Saya harus menunjukkan tak semua orang Meksiko itu buruk, bahkan saya membesarkan tiga anak saya tanpa meminta sedekah dari siapa pun," katanya seperti dilansir New York Times, Sabtu, (12/11).
Pengunjuk rasa lainnya, Lisa Harris dari Long Island mengatakan, ayahnya merupakan seorang penyintas pembunuhan massal. "Saya tahu mengerikannya kebencian," katanya.
Aktivis Antirasialisme Ben Becker mengatakan, pengunjuk rasa semakin marah setelah melihat adanya upaya rekonsiliasi yang dilakukan Trump dengan Presiden Obama dan antara Trump dengan Hillary Clinton setelah ia mengalahkannya dalam pemilihan presiden. Pengunjuk rasa kesal mereka mulai berdamai dengan Trump.
Unjuk rasa akan dilakukan terus menerus hingga berhari-hari ke depan. Unjuk rasa yang sangat besar juga akan dilakukan pada saat pelantikan Trump sebagai Presiden Amerika pada Januari yang akan datang.
Ahli sejarah dari Rice University, Houston, Douglas G Brinkley mengatakan, unjuk rasa yang besar-besaran seperti saat ini seperti unjuk rasa yang terjadi pada 1860 di mana Abraham Lincoln terpilih sebagai Presiden Amerika. "Lincoln hanya memenangkan 40 persen suara rakyat saat terpilih menjadi presiden akibatnya unjuk rasa terjadi di berbagai wilayah di Amerika," katanya.