REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gerakan Kebangkitan Petani Indonesia (Gerbang Tani) mengecam tindakan represif dalam sengketa lahan antara pemerintah dengan warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka. Tidak hanya mencederai hak asasi manusia, namun tindakan sepihak pemerintah daerah mengancam upaya pemerintahan Jokowi dalam menciptakan kedaulatan pangan Indonesia.
“Kami mengecam penggunaan cara-cara intimidatif dan represif yang digunakanan pemerintah ketimbang cara dialog dan musyawarah. Medatangkan aparat kepolisin dalam jumlah 1200 itu bentuk teror bagi warga desa yang sedang mempertahankan hak-haknya,” ujar Ketua Gerbang Tani Idham Arsyad, di Jakarta, melalui release yang diikirmkan ke Republika.co.id (18/11).
Untuk diketahui konflik lahan di kawasan Sukamulya dipicu oleh rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Proyek ini rencananya mengusur 11 desa di Kecamatan Kertajati, Majalengka.
Meskipun mayoritas warga menolak digusur, namun secara sepihak 11 kepala desa di tahun 2004 menandatangani surat persetujuan megaproyek tersebut termasuk kesedian untuk direlokasi.
Dalam kurun waktu 16 tahun terakhir penolakan warga berujung pada bentrok fisik dengan aparat gabungan baik dari TNI, Polri, dan Satpol PP, termasuk pengusiran paksa dari lahan mereka Kamis (17/11), kemarin. Dari bentrok tersebut sebanyak 6 warga ditangkap karena dianggap sebagai provokator. Selain itu sawah yg baru ditanami masyarakat mengalami kerusakan.
Idham mengatakan bentrok antara warga dan aparat seharusnya tidak terjadi. Menurutnya warga Sukamulya tidak sepenuhnya menolak pembangunan BIJB, namun mereka meminta kejelasan tentang kejelasan ganti rugi dan tempat relokasi.
“Sampai sekarang tidak jelas bagaimana proses ganti rugi dan pemda tidak memikirkan proses relokasi yang benar dan baik. Kita bisa bayangkan bahwa masyarakat satu desa digusur bukan hanya kehilangan tanahnya tapi kehilangan semuanya. Sisi kehidupan sosial-ekonomi dan masa depan anak mereka,” katanya.
Dia mengungkapkan Desa Sukamulya dalam desain pembangunan BIJB didesain sebagai area cadangan dari kawasan bandara. Harusnya dengan fakta tersebut, pemerintah terlebih mengintensifkan dialog agar kedua belah pihak bisa mencari win-win solution atas konflik di antara mereka karena pengunaan lahan tidak terlalu mendesak.
“Tetapi ternyata pemerintah lebih memilih untuk mengedepankan pendekatan represif dan intimidatif dalam menyelesaikan konflik lahan yang terjadi,” sesalnya.
Idham menegaskan jika lahan-lahan warga di Sukamulya merupakan lahan produktif. Bahkan sebagian warga baru saja menanam padi milik mereka. Ini membuktikan jika analisa dampak lingkungan (Amdal) yang menyebutkan lahan warga Sukamulya merupakan lahan tandus tidak benar.
“Kasus ini juga menjadi gambaran pengusuran lahan akan berdampak pada program kedaulatan pangan jika tidak disertai dengan Amdal yang solid dan memadai,” tukasnya.
Idham meminta agar pemerintah pusat segera turun tangan untuk mengatasi konflik lahan Sukamulya. Saat ini sebagian warga desa masih bertahan di balai desa setempat karena trauma atas aksi penangkapan dan represi yang dilakukan oleh aparat gabungan. “Kami berharap agar persoalan ini segera mendapatkan solusi,” katanya.