REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai lemahnya edukasi tentang peran asuransi yang menyejahterakan masyarakat, menjadi hambatan penetrasi industri asuransi di Indonesia.
"Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap konsep keuntungan asuransi menyebabkan tingkat penetrasi asuransi di Indonesia rendah," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad dalam pembukaan 19th ASEAN Insurance Regulators Meeting (AIRM) di Yogyakarta, Rabu (23/11).
Seperti di sebagian besar negara anggota ASEAN, rasio penetrasi industri asuransi di Indonesia cenderung rendah dari 2,35 persen terhadap PDB 2014 menjadi 2,56 persen terhadap PDB 2015. Dari sisi total aset, industri asuransi Indonesia menempati posisi keempat di ASEAN yakni sebesar 45,42 miliar dolar AS setelah Singapura (148,84 miliar dolar AS), Thailand (83,95 miliar dolar AS), dan Malaysia (55,70 miliar dolar AS).
Untuk mendorong penetrasi industri asuransi di Tanah Air, OJK mengedepankan beberapa kebijakan guna lebih menyosialisasikan peran asuransi bagi masyarakat salah satunya melalui pengembangan produk asuransi mikro. OJK telah mengeluarkan kebijakan untuk produk asuransi mikro, pertanian, ternak, dan kerangka kapal, dan akan mendorong lebih banyak model asuransi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat terutama masyarakat kecil.
Selain itu, OJK juga membangun sinergi antara asuransi dan produk jasa keuangan lainnya seperti pinjaman dan investasi.
"Dalam upaya memasyarakatkan asuransi dan mengasuransikan masyarakat, prinsip kesejahteraan harus disoroti karena asuransi pada dasarnya melindungi masyarakat terhadap risiko yang lebih besar di kemudian hari," ujar Muliaman.
Industri asuransi Indonesia saat ini masih didominasi industri asuransi umum sebanyak 80 perusahaan, kemudian asuransi jiwa 55 perusahaan, industri reasuransi 6 perusahaan, industri asuransi wajib 3 perusahaan, dan industri asuransi sosial 2 perusahaan.