REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Aviliani Malik menilai saat ini pertumbuhan kredit masih belum tumbuh dikarenakan ada masalah di sektor riil. Ia menjelaskan, saat ini Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio antara besarnya kredit yang disalurkan oleh bank dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) sudah cukup tinggi, tetapi kredit masih belum tumbuh disebabkan oleh masalah di sektor riil.
"Nah, apa sektor riil yang bisa berkembang? Properti dan infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah fokus aja pada dua hal itu untuk meningkatkan kredit perbankan karena kredit perbankan itu tidak mungkin ke investasi yang lain," ujar Aviliani, Rabu (23/11).
Sebab menurutnya pada tahun 2010-2013 perusahaan sudah over investasi pada sektor riil. Sehingga saat ini untuk berinvestasi tidak ada demand nya lagi. Sementara perbankan tidak bisa berharap dari sektor lain karena kedua sektor itu yang paling memungkinkan dalam waktu tiga sampai lima tahun ke depan.
"Pada 2017 memang harus mulai memfokuskan pada dua sektor ini, baik insentif fiskalnya maupun leverage dari anggaran," katanya.
Menurutnya saat ini warga negara asing diperbolehkan untuk mengajukan kredit properti. Sementara untuk masyarakat yang tidak berpenghasilan tetap belum diperbolehkan memiliki kredit properti. Padahal ada sebanyak 70 persen pekerja sektor informal yang seharusnya dijadikan pasar kredit baru.
"Sektor informal yang 70 persen itu harus dijadikan pasar kredit baru. Itu menurut saya bisa dikembangkan, gaji yang non-fix," katanya.
Rencana Bank Indonesia untuk melonggarkan aturan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi averaging atau pemenuhan kewajiban GWM secara rata-rata ia nilai dapat mendorong perbankan melakukan ekspansi. Namun masalahnya, meski likuiditas bank cukup, apabila tidak ada permintaan kredit akan sulit untuk bank berekspansi.
"Jadi harus ada hubungannya tadi antara pelonggaran BI dengan sektor riilnya," katanya.