REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Lida Puspaningtyas
Kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen diapresiasi. Keputusan tersebut dinilai sebagai upaya menjaga laju pemulihan ekonomi.
Ekonom dan Co-Founder Dewan Pakar Institute of Social, Economics and Digital (ISED) Ryan Kiryanto mengatakan kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen dapat menjaga pemulihan ekonomi nasional berada pada jalurnya. "Tidak melulu mengacu pada faktor tunggal yakni inflasi. Juga ada variabel lain yang harus di pertimbangkan, misalnya track pemulihan ekonomi Indonesia sedang berada di jalur yang benar," ujar Ryan, Kamis (21/7/2022).
Ryan mengatakan keputusan ini juga dapat menjaga konsumsi rumah tangga masyarakat Indonesia, yang selama ini menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetap stabil. "Konsumsi rumah tangga domestik kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) rata-rata tahunan itu sekitar 55 persen," ujar Ryan.
Ryan mengatakan keputusan ini dapat ikut menjaga kepentingan strategis nasional seperti nilai tukar rupiah dan inflasi. Menurut dia, depresiasi rupiah masih terjaga dibandingkan dengan mata uang asing lain dan inflasi tetap dalam koridor target.
"Sejauh ini depresiasi rupiah masih managable dibandingkan mata uang asing lain yang sudah mengalami depresiasi rata-rata diatas lima persen," ujar Ryan.
Secara keseluruhan, ia melanjutkan keputusan ini juga dapat mendongkrak pertumbuhan kredit perbankan serta mendorong transaksi pembayaran digital. Terkait risiko inflasi ke depannya, ia mengatakan kebijakan suku bunga ini akan menjaga inflasi tidak mengalami kenaikan yang tajam.
Ia pun menilai keputusan BI menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan adalah tepat. "BI melihat arah inflasi inti masih di dalam jangkar, masih dalam koridor ekspektasi BI yang kisarannya itu 2 hingga 4 persen," ujar Ryan.
Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip, juga menilai kebijakan BI yang menahan suku bunga acuan merupakan langkah yang tepat. Kebijakan ini memperlihatkan, BI melihat bahwa perekonomian masih membutuhkan ruang bagi pertumbuhan ekonomi. "Pertumbuhan kita memang saat ini sudah mulai membaik, namun belum solid," katanya pada Republika, Kamis (21/7/2022).
Hal ini mengingat faktor pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi baru berasal dari ekspor. Sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang memegang pangsa terbesar terhadap PDB belum terlalu signifikan pertumbuhannya.
Kebijakan yang menahan suku bunga acuan ini diharapkan dapat menjaga transmisi ke suku bunga perbankan, sehingga bunga bank pun tidak mengalami kenaikan. Dengan bunga bank tidak naik, maka kredit perbankan tumbuh sehingga dapat berkontribusi untuk mendorong pertumbuhan.
Apalagi BI juga telah mengeluarkan bauran kebijakan baru terkait transparansi Suku Bunga Dasar Kredit baru. Diharapkan kebijakan suku bunga perbankan yang rendah dapat terus meningkatkan permintaan kredit.
Sunarsip juga menggarisbawahi pengaruh mempertahankan suku bunga acuan pada nasib nilai tukar rupiah. Menurutnya nilai tukar memang terlihat sudah tertekan sejak BI menahan suku bunga acuan pada bulan lalu.
Dalam rangka menahan pelemahan nilai tukar, BI melakukan intervensi pasar, masuk ke pasar melalui operasi moneter. Langkah operasi moneter inilah yang lebih dipilih BI untuk mengendalikan nilai tukar, dibanding mengambil kebijakan kenaikan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) atau suku bunga acuan.
Konsekuensinya, posisi cadangan devisa dalam beberapa bulan terakhir menurun. Ia menegaskan operasi moneter juga hingga saat ini tidak membahayakan posisi cadangan devisa karena ekonomi domestik memperoleh windfall devisa dari ekspor. "Posisi cadangan devisa memang menurun saat ini, namun posisinya masih aman," kata dia.
Sunarsip menyampaikan, BI memang terihat tidak terlalu khawatir dengan posisi nilai tukar saat ini. Sebab, meskipun nilai tukar melemah dengan menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS, industri masih cukup mampu menyerap level nilai tukar tersebut.
Terbukti, impor bahan baku masih tumbuh tinggi sekitar 30 persen selama enam bulan pertama 2022. Ini mengindikasikan bahwa meskipun nilai tukar melemah, hal tersebut tidak menyebabkan pelaku usaha manufaktur terganggu.
Industri tidak terganggu karena meskipun biaya impor naik akibat pelemahan nilai tukar, namun ekspor juga naik karena permintaan di luar negeri tinggi dan harganya tinggi pula. Sehingga, para pengusaha manufaktur ini tetap untung, meski biaya impor naik.
Sunarsip menambahkan suku bunga Indonesia juga saat ini masih relatif lebih baik diantara negara berkembang lainnya. Real interest rate, yield obligasi masih positif dan relatif lebih tinggi dibanding negara lain. "Jadi, instrumen investasi di Indonesia sebenarnya masih layak koleksi bagi investor asing," katanya.
Meskipun suku bunga acuan tidak naik, potensi untuk menarik investor asing masuk investasi portofolio Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Sekarang memang dana-dana asing tersebut keluar, namun Sunarsip memprediksikan itu hanya sementara.
Investor keluar hanya memanfaatkan momentum mendapat profit akibat kebijakan kenaikan suku bunga acuan di negara lain. Jika euforia tersebut sudah selesai, ia yakin mereka akan balik lagi ke Indonesia.