REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofriandi menilai usulan Partai Golkar mengajukan kembali Setya Novanto menjadi Ketua DPR RI sebagai upaya pengamanan kebijakan Pemerintah Joko Widodo. Hal ini tidak lepas dari dinamika politik yang terjadi saat ini yang diinginkan Pemerintah.
"Kembalinya Setnov ini tidak lepas dari dinamika politik terkini ada orientasi dari Jokowi untuk mengamankan kebijakannya untuk amankan parlemen," ujar Ronaldd dalam keterangan pers Koalisi Masyarakat Sipil di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (23/11).
Ia menilai, Pemerintah Jokowi menilai dukungan politik dan jaminan dari Setnov dinilai lebih konkret ketimbang Ade Komaruddin. Hal ini yang menjadi pegangan Pemerintah untuk melanggengkan target jangka pendek maupun jangka panjang pemerintah.
"Jokowi tentu punya agenda kebijakan dan program yang membutuhkan dukungan parlemen, bisa melalui RUU atau APBN," ujar Ronald.
Ia melihat Pemerintah justru menilai berbeda jika kepemimpinan DPR dijabat oleh pimpinan saat ini yang dinilai lebih beresiko. Ini juga menjadi kendala Pemerintah dari kepemimpinan DPR meskipun partai pendukung mayoritas di parlemen.
"Terutama menciptakan ruang dan panggung politik bagi kelompok penekan atau yang ditengarai melakukan makar," kata Ronald.
Meski begitu, pihaknya menilai berbagai alasan tersebut tidak kemudian menjadikan Setnov layak kembali menjabat Ketua DPR. Hal ini mengingat rekam jejak Setnov yang bermasalah dan kerap disangkutpautkan sejumlah kasus hukum.
Karenanya, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ICW, Gerakan Anti Korupsi (GAK) Lintas Kampus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum(YLBHI), Indonesia Parliament Center (IPC), Pusako dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menolak tegas rencana tersebut.
Sebelumnya, dalam rapat pleno Partai Golkar memutuskan rencana mengembalikan posisi Setnov sebagai Ketua DPR. Setnov rencananya akan menggeser posisi Ketua DPR sekarang Ade Komarudin.