REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari terakhir publik dikagetkan dengan kabar rencana kembalinya Setya Novanto ke posisi Ketua DPR RI. Sebelumnya, Setnov mengundurkan diri dari posisi ketua DPR RI setelah dianggap melanggar etika oleh MKD DPR. Dalam perjalanannya, Setnov terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Rapat Pleno Partai Golkar pekan lalu telah menyepakati kembalinya Setnov ke kursi Ketua DPR RI. Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono menilai, akan menjadi satu kejanggalan terkait dengan rencana kembalinya Setya Novanto ke kursi DPR.
"Meskipun secara prosedur tidak ada yang dilanggar, namun secara etika politik kembalinya Setnov terasa janggal," kata Zaenal dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Sabtu (26/11).
Ia menerangkan, alasan pertama, MKD tidak pernah mencabut keputusannya yang menyatakan Setnov tidak melanggar etika pada kasus 'papa minta saham'. Artinya, Setnov tetap dianggap menyalahi etika ketua lembaga tinggi negara sampai hari ini.
Kejanggalan kedua, dikatakan dia, keputusan MK tidak terkait dengan etika politik yang dilanggar Setnov sebagaimana keputusan MKD. MK hanya memutuskan alat bukti tidak sah, namun tidak membahas etika ketua DPR. "Maka bila Partai Golkar menggunakan dasar Putusan MK untuk mengembalikan SN ke kursi Ketua DPR, argumentasi yang dibangun tidak relevan," ujarnya.
Selain itu, menurut Zaenal, kinerja Ade Komarudin sebagai Ketua DPR RI sampai hari ini tidak ada kesalahan yang signifikan. Ade, kata dia, tidak layak diganti tanpa alasan yang jelas. Ini berlaku bagi siapapun, tidak hanya bagi Ade. "Sehingga memunculkan kesan penggantian Ade oleh Setnov yang terus didorong seperti pemaksaan atau dipaksakan," kata dia.
Sebagai lembaga tinggi negara, dijelaskan Zaenal, posisi ketua DPR RI secara politik dan diplomasi cukup sakral. Maka tidak etis bila melakukan penggantian ketua berkali-kali dalam satu periode. DPR, lanjutnya, merupakan simbol bangsa Indonesia di mata dunia. Jangan sampai, sambungnya, pertarungan internal partai atau konflik di dalam negeri membuat citra DPR buruk di mata dunia.
"Apa kata dunia? Pasalnya tidak ada preseden di negara demokrasi lainnya ketua parlemen bisa maju-mundur semaunya," ujarnya.