Kamis 01 Dec 2016 02:49 WIB

Pelarangan Burqa di Belanda tak Hentikan Radikalisasi

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agus Yulianto
Muslimah di Belanda.
Foto: Rnw.l/c
Muslimah di Belanda.

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Pelarangan penggunaan burqa di area publik di Belanda dinilai, tak akan menghentikan radikalisasi. Meski tak ditujukan bagi satu agama tertentu, para Muslimah merasa mereka disudutkan dengan aturan-aturan macam ini.

"Ini seperti puisi. Awalnya mereka datang karena Yahudi dan saya diam. Lalu mereka datang pada saya, namun tak ada yang mau bicara atas nama saya. Ibu saya menangis soal ini. Sekarang melarang burqa, nanti apa? Wanita berkerudung? Wanita berkulit cokelat?" ungkap Nada (21 tahun), mahasiswi Muslim Belanda, soal pelarangan parsial terhadap burqa di tempat umum.

Pelarangan ini sendiri masih perlu mendapat izin Senat Belanda sebelum menjadi aturan sah. Dengan ekspektasi 132 anggota senat mendukung dari total 150 anggota senat, aturan ini diharapkan lolos dengan mudah, demikian dilansir The Independent, Rabu (30/11).

Belanda bukan satu-satu negara di Eropa yang melarang penggunaan kerudung dan sejenisnya. Ada Prancis, Belgia, dan sebagain wilayah Swiss yang memberlakukan larangan serupa dan mendenda para wanita yang menggunakan kerudung hingga menutupi seluruh wajah di area-area publik.

Pada 2016, Pemerintah Bulgaria juga menerapkan larangan yang sama dengan mengancam wanita yang menggunakan burqa atau niqab akan disanksi. Dalam jajak pendapat YouGov Inggris, 57 persen responden juga mengharapkan hal serupa diterapkan di Inggris.

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengatakan, aturan ini tidak menyasar latar agama apapun. Ia menekankan, bahwa helm dan masker ski pun akan dilarang dan itu akan diterapkan pada kondisi tertentu dimana seseorang harus menunjukkan wajahnya karena alasan keamanan.

Di samping klaim Rutte, sebagian orang justru fokus pada 'bahaya' wanita berkerudung. Para pendukung aturan pelarangan ini termasuk Geert Wilders, sudah mengklaim kebencian atas Islam dan menyatakan secara terbuka tidak semua Muslim adalah teroris, namun semua teroris adalah Muslim.

Logika yang dibuat semacam itu malah kian memanasi pelarangan burqa. Politisi seperti Wilders muncul di muka publik dengan memberi pandangan terbatas mengenai terorisme. Mereka mengabaikan aksi teror oleh radikal Kristen dan upaya komunitas Muslim melindungi generasi muda mereka dari radikalisasi.

Sementara sepupu Nada, Hind, tidak memakai burqa tapi berkerudung. Nada dan Hind mengenakan kerudung karena keyakinan agama. Bila kerudung pun dilarang, kedua gadis itu akan kesulitan berada di tempat umum.

"Kerudung itu tanda penghormatan. Kalau saya pergi keluar rumah tanpa kerudung, saya merasa rendah. Kami memiliki kerabat di Prancis dan kerabat kami yang wanita takut keluar rumah. Kerabat kami ini merasa nyaman menggunakan burqa dan sekarang ia merasa seperti tahanan di rumah sendiri,'' tutur Hind.

Riset dampak pelarangan burqa mengonfirmasi kekhawatiran Hind. Laporan ini menyebut para wanita makin merasa terisolasi dan pelarangan burqa ini berkaitan dengan usaha Muslim Prancis melakukan radikalisasi. Sayangnya, terlihat ada ironi antara pelarangan burqa yang dilakukan Prancis dengan Belanda mengingat pelarangan semacam ini harusnya bertujuan menghentikan penyebaran radikalisasi dan terorisme.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement