Kamis 01 Dec 2016 03:12 WIB

Hakikat Kesulitan

Keimanan/Ilustrasi
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Keimanan/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H Karman

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menyaksikan dua orang yang dihadapkan pada dua kesulitan yang sama namun respons dan efeknya berbeda.

Misalnya, ada dua orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Yang satu merespons kejadian tersebut dengan sikap positif sehingga hilangnya pekerjaan tidak menjadikannya terpuruk malah menjadikannya semakin maju.

Baginya kehilangan pekerjaan bukan kiamat, tapi awal keluar dari zona nyaman dan rutinitas menuju zona penuh tantangan dan kemuliaan. Namun, orang yang satunya lagi merespons peristiwa tersebut dengan sikap negatif dan pesimis.

Kehilangan pekerjaan dianggap sebagai awal kehilangan segalanya. Akibatnya hidupnya menjadi lebih terpuruk. Lantas, apa hakikat kesulitan itu? Mengapa dua orang yang berbeda merespon satu kesulitan yang sama dengan cara yang berbeda?

Menurut Alquran, kesulitan atau kesusahan merupakan bagian hidup manusia. Siapapun kita sepanjang masih berstatus manusia pasti pernah, sedang, dan akan mendapat kesulitan. Hal tersebut ditegaskan oleh ayat, ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS al-Balad: 4).

Alquran menyebut kesulitan (susah payah) dengan kata kabad. Kata kabad sendiri seakar kata dengan kabid yang berarti  hati. Jadi, ketika Alquran menyebut kesulitan dengan kata kabad, itu mengisyaratkan bahwa kesusahan dan kesenangan salah satunya ditentukan oleh kondisi hati.

Hati yang bersih, lapang dan penuh optimisme akan mengubah kesulitan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, hati yang kotor, picik, dan penuh pesimisme tidak hanya akan menyebabkan kesulitan menjadi beban, bahkan kenikmatan pun bisa menjadi kutukan.

Kondisi hati inilah yang dapat menjelaskan perbedaan respons dari dua orang yang dihadapkan pada kesulitan yang sama. Jadi, kesulitan tidak selamanya ada pada obyek yang kita hadapi. Kesulitan lebih banyak ditentukan oleh hati dan pikiran kita. Dengan kata lain sulit dan mudah, susah dan senang adanya di dalam hati dan pikiran tidak selamanya pada obyek di luar diri kita.

Sesulit apapun persoalan yang kita hadapi, jika diterima dengan hati bersih penuh dengan keikhlasan dan ketawakalan, semuanya akan berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Dan semudah apapun persoalan yang kita hadapi jika diterima dengan hati yang sempit akan berubah menjadi beban yang sangat berat.

Nabi Muhammad SAW menyebut hati yang baik adalah hati yang dipenuhi dengan keimanan. Dan orang yang hatinya dipenuhi dengan keimanan akan melihat segala peristiwa yang menimpa pada dirinya dari sisi positif.

Ia menganggap semua peristiwa mengandung kebaikan. Oleh karena itu, ia akan bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika ditimpa kesusahan. Baginya susah dan senang sama saja sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah SWT.

Berkaitan dengan hal tersebut, Nabi SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” ( HR Muslim).

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement