Ahad 04 Dec 2016 16:36 WIB

Pemerintah Disarankan Buka Dialog dengan Tersangka Makar

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Indira Rezkisari
Anggota Brimob Polri memperketat pengamanan pascapenangkapan sejumlah tokoh dalam kasus dugaan makar di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/12).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Anggota Brimob Polri memperketat pengamanan pascapenangkapan sejumlah tokoh dalam kasus dugaan makar di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf menyarankan agar pemerintah membuka forum dialog sebagai wadah komunikasi dengan para aktivis yang mengkritik. Hal ini terkait penangkapan kepolisian terhadap 11 orang yang diduga terkait makar dan pelanggaran UU ITE.

“Mereka bersikap kritis, seharusnya pemerintah mengutamakan dialog dan komunikasi dulu. Pemerintah jangan terlalu reaktif terhadap hal seperti ini,” kata Asep, Ahad (4/12).

Asep menilai tuduhan makar terlalu berlebihan dan tak sesuai dengan sistem demokrasi pemerintahan. Menurut dia, perbuatan makar terbukti jika memang terdapat pelatihan dalam suatu organisasi dengan struktur yang sudah siap untuk menggulingkan pemerintah.

“Sudah tidak relevan lagi dikatakan makar. Kecuali mereka ada pelatihan, struktur masif siap untuk menggulingkan pemerintah. Sehingga apakah betul itu sebagai mufakat jahat yang dilakukan tokoh itu?” ucap Asep.

Ia menjelaskan, kajian terkait pembahasan konstitusi naskah amandemen UUD 1945 ke naskah asli UUD 1945 merupakan hal yang wajar dan biasa dilakukan di kalangan akademisi. Karena itu, seharusnya pemerintah dan juga DPR serta MPR merespons kajian tersebut secara terbuka dan akademis melalui forum dialog.

“Sekadar pemikiran apa salahnya. Mungkin itu sangat ideologis terhadap Pancasila. Tapi seandainya pembahasan UUD diganti ke lama itu biasa. Dalam wacana akademik itu biasa, wajar itu dibahas. Itu hal yang biasa dalam kajian,” kata dia.

Asep menilai apa yang dilakukan oleh para tokoh tersebut merupakan hal yang biasa dan tidak bisa dikategorikan dalam tindakan makar. Ia pun menyayangkan sikap pemerintah dan kepolisian yang langsung menindak secara hukum ke-11 orang yang ditangkap dengan tuduhan makar.

“Tokoh-tokoh itu tidak ada salahnya. Karena tidak ada forum dialog makanya mereka dianggap seperti berbuat makar. Padahal mereka maunya diskusi dengan pemerintah,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan menyebut terdapat sejumlah pihak berniat datang ke Gedung MPR untuk menuntut sidang istimewa pada Jumat (2/12). Pihak-pihak tersebut berupaya mengembalikan konstitusi naskah amandemen UUD 1945 ke naskah asli UUD 1945.

Sementara itu, kepolisian menyampaikan, meski belum terjadi tindakan makar namun di mata hukum ketujuh orang dari 11 orang yang ditangkap, tetap sebagai tersangka. Polri telah menetapkan tujuh orang sebagai terduga makar dan disangkakan melanggar pasal 107 juncto Pasal 110 KUHP.

Menurut kepolisian, makar didefinisikan sebagai permufakatan. Bukti berupa tulisan dan percakapan terkait perencanaan menduduki gedung DPR, pemaksaan dilakukannya sidang istimewa, serta tuntutan pergantian pemerintah menjadi dasar penetapan tersangka.

Polri mengategorikan pemufakatan makar sebagai perbuatan delik formil. "Artinya tidak perlu terjadi perbuatan makar itu, tapi dengan adanya rencana dan kesepakatan, permufakatan oleh sekelompok orang dapat dipersangkakan dengan pasal ini," jelas Kadiv Humas Polri Boy Rafli Amar.

Pada Jumat (2/12) pagi, aparat Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menangkap 10 orang, yaitu Ahmad Dhani, Eko Suryo Santjojo, Adityawarman, Kivlan Zein, Firza Huzein, Racmawati Soekarno Putri, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, Rizal. Selain 10 orang tersebut, polisi juga menangkap Alvin Indra di Kedaung Waringin Tanah Sereal. Total yang ditangkap sebanyak 11 orang.

Tiga di antaranya ditahan, yaitu Sri Bintang Pamungkas, Jamran dan Rizal dijerat pasal UU ITE dan pasal 107 berkaitan dengan konten dalam media sosial, terutama di Youtube yaitu ajakan penghasutan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement