REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik bersenjata yang terjadi di Suriah sudah berjalan nyaris lebih dari lima tahun. Korban-korban pun berjatuhan, baik dari pihak oposisi maupun pihak pendukung pemerintahan Bashar Al Assad. Tapi, korban yang paling banyak justru jatuh dari kalangan warga sipil.
Aleppo menjadi salah satu kota yang luluh lantak akibat perang di Suriah. Salah satu kota terbesar di bagian Suriah Utara ini hancur karena perang. Di Aleppo, salah satu lembaga kemanusiaan asal Indonesia, Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), mengirimkan bantuan.
Pada pertengahan 2013 silam tiga orang perwakilan dari BSMI masuk ke kota tersebut. Salah satunya adalah Sekretaris Jenderal BSMI Muhammad Rudi. Dengan membawa bantuan berupa obat-obatan, alat-alat kesehatan emergency sebanyak 15 koper besar, Rudi ditemani satu dokter dan satu perawat memasuki Aleppo. Di sana, BSMI berkerja sama dengan sebuah lembaga nirlaba yang dibentuk pascaperang, Aleppo City Medical Council (ACMC). Secara total, nilai bantuan yang diberikan mencapai 5.000 dolar AS.
Tim dari BSMI itu masuk ke Suriah melalui pintu perbatasan Babul Hawa, perbatasan Suriah-Turki. Setelah itu, tim langsung menuju Kota Hatay, kemudian mengarah ke Aleppo melalui jalan darat. ''Jadi, kami tidak lewat jalur utama, tapi justru lewat jalan-jalan tikus, naik turun bukit. Lewat jalan yang dianggap aman untuk bisa kita lewati,'' ujar Rudi saat berbincang dengan Republika, belum lama ini.
Memasuki Aleppo, Rudi seakan berhadapan dengan kota mati. Banyak gedung yang rusak dan hancur. Suasana semakin mencekam di waktu malam karena tak ada pasokan listrik. Jika pun ada penerangan, hal itu lantaran ada sebagian wilayah yang menggunakan genset. Pun, dengan kondisi masyarakat yang terguncang dan merasa ketakutan. Masyarakat Aleppo cenderung meningkatkan kewaspadaan, terutama terhadap keberadaan orang asing. Belum lagi, suara letusan senjata ataupun bom yang terus terdengar sepanjang hari, baik siang ataupun malam.
Selain bantuan obat-obatan dan alat-alat kesehatan, BSMI juga memberikan bantuan logistik dan bantuan operasional untuk rumah sakit di Aleppo, Al Zarzour. Dalam memberikan bantuan logistik kepada masyarakat Aleppo, BSMI bekerja sama dengan lembaga nirlaba, Malhoff Needy Aids. Namun, Rudi menuturkan, bantuan logistik tersebut tidak bisa diberikan kepada warga Aleppo pada siang hari, tapi pada malam hari.
Bantuan itu pun diberikan secara door to door. Waktu malam dipilih untuk memudahkan relawan memberikan bantuan. "Biasanya, banyak sniper dan mereka tidak memiliki pandangan yang jelas pada saat malam. Selain itu, masyarakat di Aleppo itu trauma kalau terima bantuan dari luar karena ditakutkan mereka jadi sasaran tembak tentara pemerintah lantaran dianggap tidak mendukung pemerintah,'' tuturnya.
Dua pekan berada di Aleppo, tim dari BSMI memang banyak menghabiskan waktu dan bekerja di Rumah Sakit Al Zarzour sebagai tim medis kegawatdaruratan, terutama di ruang IGD dan bedah. Mereka pun akan didampingi relawan setempat yang juga ingin keluar dari rumah sakit. Selama di rumah sakit, para relawan menangani korban-korban perang yang rata-rata mengalami luka terbuka atau trauma, seperti patah tulang, luka tembak, dan luka terkena pecahan mortir atau bom.
Warga terluka akibat bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat-pesawat. Rudi menyebut, biasanya pesawat-pesawat tersebut melakukan pengeboman pada pagi hari dan di tempat-tempat keramaian. Hal ini membuat korban luka ataupun korban jiwa semakin banyak. Banyak korban merupakan perempuan dan anak-anak.
Rudi pun mengungkapkan, kendati mengemban misi kemanusiaan, relawan yang ada di Aleppo tidak bisa bergerak bebas. Jika diketahui adanya bantuan dari luar, bantuan tersebut akan diserang kelompok-kelompok militer tertentu. Kondisi serupa juga dialami oleh dokter. Bahkan, dokter-dokter di Aleppo mau tidak mau harus mempersenjatai diri agar tidak menjadi korban dan diculik.
''Keamanan tim relawan ataupun dokter juga tidak terjamin. Walaupun dalam hukum perang yang telah diatur PBB mereka tidak boleh ditembak ataupun ditangkap, tapi kalau di lokasi, kami tidak bisa apa-apa dan nggak bisa berkeyakinan kami aman sepenuhnya. Dokter di sana bahkan membawa senjata api. Tujuannya, untuk keamanan mereka sendiri karena di sana kondisinya memang tidak tahu siapa lawan dan siapa kawan,'' tuturnya.
Rudi mengakui, sebagai warga sipil, dia pun merasa takut untuk bisa masuk ke medan konflik bersenjata. Namun, demi mengemban misi-misi kemanusiaan, Rudi pun tidak menghiraukan ketakutan tersebut. Rudi mengakui, pada saat di lapangan, ketika melihat seseorang terluka parah, mulai orang yang mengalami patah tangannya hingga yang kepalanya luka parah, yang ada di pikirannya hanya untuk berusaha membantu semaksimal mungkin.
''Ya, pas berangkat, bismillah saja. Kami tahu akan ditugaskan ke sana. Ketakutan sih ada dan wajar. Justru, pas selesai membantu itu biasanya, pas selesai, begitu sendiri, terus ingat lagi, agak gemetar juga kaki,'' ujar Rudi.
Lebih lanjut, Rudi menyebutkan, dirinya akan selalu siap jika nantinya diberikan amanah untuk kembali ke area-area konflik. Sebagai relawan dari BSMI, tutur Rudi, dirinya akan selalu siap. Tentu, faktor keamanan akan tetap menjadi pertimbangan bagi BSMI untuk mengirimkan relawan ke area konflik tersebut. ''BSMI tentu memperhitungkan hal itu (faktor keamanan di daerah konflik). Tapi, ya semuanya kami kembalikan ke Allah SWT,'' katanya.