REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim advokat Gerakan Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menyambangi Polda Metro Jaya. GNPF MUI meminta agar Presiden Joko Widodo juga dimintai keterangan sebagai saksi terkait kasus dugaan makar pada 2 Desember lalu.
Advokat GNPF MUI, Kapitra Ampera mempertanyakan perihal pemanggilan penyidik terhadap koordinator masa aksi 212 dari Sumatera Barat, Irfianda Abidin. Menurutnya jika dikaitkan dengan kasus makar yang menjerat delapan tersangka sebelumnya, maka hal tersebut tidak ada hubungannya.
Menurutnya seorang saksi adalah mereka yang melihat dan mendengar langsung adanya sebuah peristiwa tindak pidana. Sedangkan seperti diketahui sendiri, aksi bela Islam tersebut berjalan dengan lancar dan tertib.
"Kita lihat bahwa aksi bela Islam Jilid tiga itu betul-betul nice, itu super damai. Sampai Kapolri juga katakan satu ranting daun pun tidak patah, apalagi tiang-tiang istana," katanya di Mapolda Metro Jaya, Rabu (28/12).
Akan tetapi, ia melanjutkan jika harus dipanggil sebagai salah satu koordinator massa dalam aksi 212 di Monas itu maka banyak pihak lain yang juga harus dipanggil. Diantaranya Presiden, Wakil Presiden, Menko Polhukam, Jaksa Agung, dan Menteri Agama.
"Kita lihat aksi 212 juga dihadiri oleh Presiden, Wapres, kalau keberadaan itu harus dijadikan saksi maka yang paling pantas Presiden, Wapres, Menko Polhukam juga sebagai saksi karena dia melihat sendiri ada tidak peristiwa makar di saat aksi itu," tegasnya.
Oleh karena itu tambah Kapitra, kedatangan tim advokat GNPF MUI ini untuk membuat terang terlebih dahulu perihal surat pemanggilan terkait saksi dalam upaya makar. Setelah itu baru kliennya akan datang untuk memberikan keterangannya bila perkara telah jelas.
"Hari ini (Arfianda) belum hadir, kita mewakili dulu dan bertanya pada penyidik, dia saksi untuk siapa, dan keterkaitan pengetahuan dia apa," ucapnya.