REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Parlemen Turki Selasa malam melakukan pemungutan suara memperpanjang status darurat selama tiga bulan yang dibutuhkan oleh pemerintah setempat untuk terus melakukan pembersihan terhadap para pendukung ulama yang bermukim di Amerika Serikat.
Fethullah Gulen, ulama yang menetap di Pennsylvania, AS, dituduh mendalangi percobaan kudeta pada Juli lalu, demikian media milik pemerintah setempat melaporkan.
Status darurat pertama kali diberlakukan di Turki setelah ada percobaan kudeta pada 15 Juli 2016 dan kemudian diperpanjang pada Oktober sehingga memungkinkan pemerintah mendorong parlemen dalam membuat undang-undang baru dan membatasi atau menangguhkan hak dan kebebasan pada saat dipandang perlu.
Perpanjangan status tersebut berlaku efektif mulai 19 Januari 2016 setelah Turki mengalami guncangan atas serangkaian serangan yang dilakukan oleh ISIS atau kelompok militan Kurdi dan serangan terbesar terjadi pada Minggu (1/1) lalu saat seorang pria bersenjata menembak mati 39 orang di kelab malam di Istanbul saat perayaan Tahun Baru.
Ankara menuduh Gulen dan para pendukungnya yang disebut dengan Organisasi Teroris Gulen (FETO) berada di balik percobaan kudeta pada Juli lalu. Namun Gulen menolak segala bentuk tuduhan tersebut.
"Pembersihan FETO dari negara ini belum selesai. Kami perlu mengimplementasikan status darurat hingga FETO dan semua kelompok teroris dibersihkan dari negara ini," kata Wakil Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmus menjelang voting di parlemen tersebut.
Lebih dari 41 ribu orang dihukum percobaan dalam kaitannya dengan upaya kudeta selain 100 ribu orang yang menghadapi pemeriksaan secara hukum. Sekitar 120 ribu orang, termasuk terntara, petugas kepolisian, guru, hakim, dan wartawan diberikan sanksi atau diberhentikan sejak kudeta tersebut, meskipun ratusan di antara mereka dikembalikan lagi ke jabatan semula.