Selasa 10 Jan 2017 16:11 WIB

Muhrim Bagi Muslimah

Muslimah berjilbab
Foto: EPA
Muslimah berjilbab

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan muhrim menjadi salah satu penentu bagi Muslimah dalam menjalin hubungan dan menampakkan auratnya. Haya binti Mubarok al-Barik dalam  Ensiklopedi Wanita Muslimah, muhrim ini juga berebeda-beda satu sama lainnya, didasarkan pada hubungan pribadi secara manusia perempuan dengan muhrimnya itu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, muhrim mempunyai beberapa arti. Muhrim dapat berarti orang yang masih ada hubungan dekat keluarga sehingga terlarang menikah dengannya. Makna lainnya, orang yang sedang mengerjakan ihram dan laki-laki yang dianggap dapat menjaga dan melindungi perempuan yang berhaji dan atau berumrah.

Lalu, siapakah yang menjadi muhrim perempuan? Ibrahim Muhammad al-Jamal melalui bukunya, Fikih Wanita menjelaskan siapa saja yang merupakan muhrim itu. Ia menguraikannya melalui  surah an-Nur ayat 31.

Ayat tersebut menyebutkan, janganlah perempuan menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka dan putra suaminya, dan saudara mereka atau putra saudara laki-laki mereka. Juga putra-putra saudara perempuan mereka atau perempuan Islam.

Selain itu, budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Menurut al-Jamal, suami merupakan muhrim. Suami boleh melihat apa saja dari istrinya. Muhrim lainnya adalah ayah.

Menurut dia, maksudnya di sini adalah ayah, atau ayah dari ayah dan seterusnya. Termasuk kakek atau ayah kakek. Selain itu adalah ayah dari suami termasuk kakek-kakeknya. Dalam hal aurat, ia menganjurkan agar perempuan tetap menjaga kesopanan agar tak menimbulkan hal yang tak diinginkan.

Anak sendiri juga merupakan muhrim perempuan, juga di dalamnya adalah cucu baik yang lahir dari anak laki-laki maupun perempuan. Anak suami, yang artinya anak laki-laki suami yang lahir dari istri yang lain merupakan muhrim pula. Yang lainnya adalah saudara laki-laki baik saudara kandung seyah dan seibu, saudara seayah atau seibu.

Status muhrim disematkan pada anak dari saudara laki-laki maupun perempuan. Pun anak-anak yang belum mengerti mengenai aurat perempuan. “Tegasnya anak yang belum meningkat remaja,” jelas al-Jamal. Saudara laki-laki sesusuan masuk dalam kelompok muhrim.

Sebab, saudara laki-laki ini tak boleh menikah dengan saudara perempuannya yang sesusuan. Al-Jamal mengatakan, paman baik dari pihak ayah maupun ibu adalah muhrim perempuan. Secara syariat, mereka tak boleh menikahi kemenakannya. Maka, kata dia, tak ada salahnya menampakkan perhiasan di hadapan mereka.

Panduan juga ditetapkan Islam ketika perempuan berinteraksi dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Menurut Haya, baik perempuan maupun laki-laki mesti mampu menahan pandangan. Tak boleh melihat aurat, tak memandang dengan dibarengi syahwat, dan tak berlama-lama memandang tanpa ada perlunya.

Dalam sepenggal surah an-Nur ayat 31, dinyatakan, bagi perempuan beriman hendaklah mereka menundukkan pandangan dan memelihara kehormatannya. Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak. Hendaklah pula para perempuan menutupkan kerudungnya ke dadanya.

Perempuan Muslim mesti mengenakan pakaian sopan yang telah ditetapkan oleh aturan dalam Islam. Mereka menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Ada beberapa pendapat mengenai batas-batas aurat perempuan di hadapan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Pengikut Mazhab Hanafi meyakini, perempuan boleh membuka muka dan kedua telapak tangan, namun laki-laki haram melihat kepadanya dengan syahwat. Mazhab Syafi’i menyatakan tak wajib menutup muka dan telapak tangan. Hal yang sama ditetapkan oleh pakar fikih kebanyakan. Menurut mereka, muka dan telapak tangan bukanlah aurat.

Jika semua pihak mengabaikan tuntunan yang ada, maka akan terjadi sebuah pergaulan bebas yang menyebabkan rusaknya masyarakat. Ini terjadi saat laki-laki tak dapat menahan pandangannya dan meredam nafsunya. Demikian pula dengan perempuan yang tak menutup aurat dan tak sanggup menahan pandangannya.

Maka itu, haram bagi perempuan menyendiri dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Abd al-Qadir Manshur dalam Buku Pintar Fikih Wanita, menjelaskan, maksud menyendiri di sini berarti perempuan dan laki-laki berada di sebuah tempat yang aman dari gangguan orang ketiga.

Abu Hanifah menyatakan, Rasulullah tak menyukai seorang lelaki dewasa mengajak perempuan dewasa untuk berduaan. Sebab, berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimnya adalah perbuatan maksiat. “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan menjadi pihak ketiga,” ujar Rasulullah.

Saat berada di tempat umum, ujar Manshur, seorang perempuan dilarang mengenakan pakaian yang bisa memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dan kulit tubuhnya. Jika hal itu dilanggar maka perempuan masuk dalam kategori perempuan yang berpakaian tetapi sesungguhnya telanjang.

Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah. Beliau mengatakan, akan datang di pengujung umatku, perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi pada hakikatnya telanjang. Al-Dawwani melalui kitab yang ditulisnya, al-fawakih, mengatakan, perempuan dilarang memakai pakaian yang tipis saat keluar rumah hingga kulit tubuhnya terlihat.

Manshur menambahkan, perempuan sebaiknya juga tak melakukan hal yang dilakukan dengan tujuan mencari perhatian laki-laki. Ia mengutip firman Allah, “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” Ibnu Katsir, kata dia, menyajikan penjelasan bagus tentang hal ini.

Pada zaman jahiliyah, umunya kaum perempuan menghiasi kakinya dengan gelang. Saat mereka berjalan namun tak ada bunyi gemerincing, maka mereka akan menghentakkan kakinya ke tanah agar gelang itu bersuara dan laki-laki mendengarnya. Allah, jelas Ibnu Katsir, melarang perempuan Muslim meniru perilaku itu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement