Oleh: KH M Arifin Ilham
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Wahai Muhammad, Allah sama sekali tidak akan mengazab kaum kafir Quraisy selama kamu berada di tengah-tengah mereka. Dan Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka selama mereka beristighfar kepada-Nya," (QS al-Anfal: 33).
Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir memberi catatan atas firman-Nya di atas dengan mengutip pernyataan Ibnu Abbas RA, "Di tengah kehidupan kaum Muslimin, ada dua alat pengaman, yaitu keberadaan Nabi SAW dan istighfar. Tetapi, sekarang, Nabi SAW telah wafat, sehingga alat pengaman yang tersisa tinggal istighfar. Lazimkan dirimu dengan istighfar!"
Sahabat yang budiman, dengan terus bermuhasabah diri, mari ajak diri kita untuk melazimkan istighfar. Keadaan kita yang terus terhempas oleh keadaan sulit yang melilit sebenarnya alat pengaman untuk bisa keluar adalah dengan terus bermohon ampun kepada Allah SWT. Keadaan negeri ini yang terus didera persoalan rumit yang berketerusan bisa sesungguhnya menemui pintu kebaikannya jika secara massif dan nasional bertaubat dan melazimkan istighfar.
Akan ada desain suasana dan keadaan yang cukup indah dari Allah sebagai jawaban doa dan harapan kita jika lisan-lisan anak bangsa di negeri ini melazimkan istighfar. Insya Allah, akan menjadi percontohan dunia Islam jika lisan pemimpin, para aparatur negara, menteri, anggota dewan, tentara dan polisi, hakim dan jaksa juga pengacara, penggiat entertainment, dan orang-orang berpunya maupun yang papa, semua melazimkan istighfar. Haqqul yaqin, kebaikan atas negeri ini akan segera menemui asa dan nawa citanya.
Sekadar untuk menyemangati supaya lisan ini lazim dengan istighfar, bercontohlah kepada si tukang roti di masa Imam Ahmad Ibnu Hanbal yang mendapati peristiwa tak terbayangkan. Selama lebih dari 30 tahun si tukang roti yang tinggal di Bashrah ini tak pernah lelah untuk menjadikan lisannya basah dengan istighfar. Ada harap kuat dari istighfar yang dilazimkannya berjumpa dengan Imam al-Hadis terkemuka tersebut.
Mengapa sampai terjadi peristiwa berurutan yang tidak bisa dicerna logika sang pengusung mazhab Hanbali ini. Dimulai satu sore, mengapa sang Imam seperti terdesak hatinya ingin sekali mengunjungi Bashrah, Irak. Lalu, pada saat ingin iktikaf di masjid karena kemalaman, marbut masjid sama sekali tidak mengenalinya, bahkan mengusirnya dengan tidak selazimnya. Bahkan, diceritakan sampai dihempas sang imam ini di jalanan.
Rupanya, jawabannya adalah desain peristiwa dari Allah supaya si tukang roti mendapati hal yang indah dari istighfar yang tak pernah putus dari lisannya. Saat sang imam dihempas di jalanan, si tukang roti yang kebeteluan sedang melintas menghampirinya. Si tukang roti tidak pernah tahu rupa dari sang imam. Dirinya hanya kenal nama. "Jika mau bermalam, di rumahku saja wahai Fulan!"
Sang imam pun ikut serta. Di sinilah bermula desain Allah yang indah itu. Di rumah yang sangat sederhana, sang imam mendapati amal menakjubkan dari si tukang roti. Jika tidak ditanya maka terlihat jelas lisannya terus basah beristighfar. "Wahai tukang roti yang saleh, apakah banyak hal yang istimewa Allah berikan dari istighfarmu yang terus engkau baca?"
"Banyak, semua diijabah. Hanya satu yang belum, yaitu hasratku ingin berjumpa dengan al-Musnid Ahmad Ibnu Hanbal," jawab si tukang roti. Terhenyak sang imam, dirinya segera sadar mengapa sore itu dirinya ingin sekali ke Bashrah dan saat ingin bermalam dan iktikaf di masjid lalu marbut tidak mengenali, bahkan mengusirnya. Rupanya, semua itu karena istighfarnya si tukang roti.
"Wahai tukang roti, di depanmu ini adalah jawaban dari kelaziman lisanmu menjaga istighfar. Sungguh aku adalah Ahmad Ibnu Hanbal!" seru sang imam yang disyukuri penuh takjub oleh si tukang roti.