Selasa 17 Jan 2017 18:32 WIB

Perubahan Iklim Ekstrem Akibatkan Nasi Mudah Basi

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Ilham
Antisipasi perubahan iklim
Foto: ILS
Antisipasi perubahan iklim

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Terjadinya pemanasan global memicu terjadinya perubahan iklim yang ekstrem. Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses produksi maupun distribusi pangan dunia. Dengan adanya pemanasan global ini tampaknya seluruh permukaan bumi akan mengalami pola perubahan iklim yang sangat drastis.  

"Meskipun kemarau tiba-tiba hujan. Akibatnya padi yang seharusnya sebelum dipanen sawah harus kering, tetapi karena tiba-tiba hujan, sawah menjadi tergenang air. Akibatnya padi yang setelah dimasak nasinya mudah lembek dan mudah basi,’’ kata rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Gunawan Budiyanto, Selasa (17/1).

Dulu datangnya dan perginya musim hujan bisa diprediksi, dan sekarang tidak. Hujan tiba-tiba dengan intensitas tinggi hampir terjadi di setiap bulan. Akibatnya, secara global akan terjadinya gangguan produksi pangan dunia.

"Sementara kita semakin dikhawatirkan dengan peradabaan dunia di tahun 2050 penduduknya mencapai tujuh miliar jiwa, dan 60 persennya di Asia. Ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi ahli lingkungan dan pangan untuk bisa mendeteksi sedini mungkin,’’ kata dosen Fakultas Pertanian ini. Kalau tidak diantisipasi akan terjadi kekurangan pangan.

Bahkan hal itu, kata dia, sudah bisa dirasakan. Distribusi pangan sudah mulai berubah, dulu orang mendistribusikan beras dari benua ke benua lancar. Sedangkan sekarang diganggu iklim, sehingga harus tertunda. Padahal, produk pangan kalau tertunda sehari saja kualitasnya akan turun. Seperti buah-buahan kalau minggu ini tidak laku minggu depan harganya turun.

Dengan perubahan iklim ini, kata Gunawan, dia memperkirakan selama kurun waktu sampai 2050 akan terjadi instabilitas produksi pangan dan distribusi pangan. Hal inilah yang dibicarakan dalam ICOSA yang pesertanya berjumlah sekitar 200 orang berasal dari 11 negara ini.

Solusi yang ditawarkan antara lain mulai mengurangi input bahan-bahan kimia, seperti revolusi hijau yang dimulai tahun 1960 menggunakan pupuk buatan dari bahan kimia anorganik. Ternyata, setelah pupuk anorganik digunakan puluhan tahun mengakibatkan keragaman hayati di dalam tanah akan menurun populasi organisme dan mikroorganisme. Padahal, spesies organisme dan mikroorganisme terbukti punya manfaat dalam proses pertumbuhan pangan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement