REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) langsung bersikap pascatertangkap tangannya hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK telah menggelar rapat permusyawaratan hakim (MPH) yang diikuti delapan hakim, minus Patrialis Akbar terkait persoalan tersebut, kendati hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari KPK.
Ketua MK Arief Hidayat mengungkapkan, MK mendukung penuh KPK dalam menuntaskan persoalan hukum terhadap Patrialis dengan membuka seluas-luasnya akses kepada KPK.
"Bahkan jika diperlukan, MK mempersilakan KPK untuk meminta keterangan hakim konstitusi tanpa mendapatkan izin dari Presiden sebagaimana diatur dalam UU MK," kata Arief dalam keterangan pers di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (26/1).
Arief menambahkan, RPH juga memutuskan bahwa MK melalui dewan etik segera menggelar rapat guna mengusulkan pembebastugasan hakim Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Hal ini jika, dalam rapat Dewan Etik menilai, Patrialis diduga melakukan pelanggaran berat yakni terjerat kasus korupsi.
Bersamaan dengan itu juga diusulkan pembentukan Majelis Kehormatan MK yang keanggotaannya berjumlah lima orang dari Hakim MK, Komisi Yudisial, mantan hakim MK, guru besar hukum, dan tokoh masyarakat.
"Dalam jangka waktu dua hari kerja sejak menerima usulan dari dewan etik, seiring dengan itu kami juga mengajukan permintaan pemberhentian sementara hakim yang bersangkutan kepada presiden," ujar Arif.
Adapun Arief dalam keterangannya mengungkap hingga saat ini belum dapat mengonfirmasi keberadaan Patrialis Akbar, meski telah berupaya menghubungi yang bersangkutan. Ia juga belum dapat keterangan resmi dari KPK, terkait keterlibatan Patrialis.
Ia juga menyampaikan permohonan maaf atas nama MK kepada masyarakat Indonesia. "Kami seluruh hakim MK sangay prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut, memohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia," kata Arief.