REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta dinilai berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Ini tak lain karena status Ahok merupakan terdakwa kasus penodaan agama dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih.
Praktisi hukum, Ikhsan Abdullah, mengatakan, kegaduhan tersebut dapat berujung kepada keadaan masyarakat yang tidak stabil dan dapat bereskalasi luas sehingga situasi menjadi tidak stabil (instabilitas) nasional.
"Bakal menjadi polemik yang sangat kontroversial dan panas yang dapat menjadi pemantik instabilitas nasional dalam berbagai hal," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (13/2).
Ikhsan menyebut aktifnya kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta secara definitif menimbulkan persoalan hukum yang amat kompleks dan menciptakan kegaduhan baru dari sisi hukum dan politik. Setidaknya, kata dia, terdapat tiga ketentuan hukum yang 'ditabrak' terkait kasus aktifnya kembali Ahok sebagai gubernur definitif.
Pertama, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Kedua, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berkaitan dengan pemilihan kepala daerah.
"DPR harus segera melaksanakan fungsi kontrolnya atas pelanggaran serius yang dilakukan oleh mendagri dan presiden terhadap ketentuan undang-undang tersebut di atas," kata dia. Menurut Ikhsan, jangan sampai masyarakat melakukan ikhtiar sendiri-sendiri untuk menegakkan hukum dengan caranya sendiri.
Ikhsan mengatakan, jalan terbaik yakni membawa persoalan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji tindakan presiden yang mengabaikan ketentuan UU. Atau, kata dia, masyarakat juga bisa menguji keputusan pengaktifan kembali Ahok ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Selain itu, menurut Ikhsan, bisa juga kasus tersebut diserahkan ke publik sehingga masyarakat sendirilah yang menghukumnya dengan hukuman sosial. "Yang berarti masyarakat juga dibiarkan untuk tidak menaati hukum sebagaimana yang telah dipertontonkan oleh Presiden dalam kasus BTP. Ini tentu saja menjadi pelajaran yang sangat tidak baik dan dapat merusak budaya hukum Indonesia sebagai bangsa beradab," ujarnya.