REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah novel, Life Along the Silk Road, dikisahkan seorang saudagar bernama Nanaivandak melintasi Jalur Sutra menuju Cina. Jalur ini ditempuh karena dua alasan, yakni kecintaan Nanaivandak pada pemandangan pegunungan dan bisnis yang harus ia kelola.
Selama 20 tahun, ia melawan para begundal yang tak jarang melakukan kekerasan kepada saudagar atau penjelajah yang melintasi jalur itu. Nanaivandak sempat berhenti di Chang'an untuk menjual sebagian minyak misk, kerajinan perak, dan batu mulia.
Di sana, yang ia temui adalah pembeli dengan bahasa ibu berbeda. Dengan wajah dan gaya berpakaian tersendiri, tampilan Nanaivandak bisa dibedakan dari orang-orang bangsa Turki, Cina, dan Tibet yang tinggal di sana. Bertahun-tahun kemudian, Jalur Sutra menjadi lazim di antara orang-orang Cina.
Dalam literatur lain, Doudou Diene yang menulis pembukaan dalam buku The Silk Roads: Highways of Culture and Commerce mengungkapkan, Jalur Sutra tak hanya terbentang untuk kepentingan bisnis, tapi juga jadi jalur cepat pembauran budaya Timur dan Barat. Sementara, Whitfield menggambarkan Jalur Sutra sebagai pertukaran arus di Asia Tengah, dari barang kasat mata hingga nilai-nilai yang dibawa manusia.
Buddhisme dan Islam bertemu di berbagai tempat. Pada saat yang sama, perdagangan membuat berbagai negara mulai terhubung. Penemuan terbaru, informasi, dan bahasa saling merambat dari Timur dan Barat. Jalur Sutra pun jadi semacam wadah globalisasi perdagangan, budaya, dan gagasan.
Perdagangan juga membuka peluang transmisi agama. Buddhisme bahkan, merupakan keyakinan pertama yang dipraktikkan masyarakat Tukharistan (Afghanistan) dan Transoxiana (Uzbekistan dan Kazakhstan). Buddhisme tersebar melalui para misionaris dari India yang berjalan menuju Cina sambil menyampaikan ajaran Buddhisme. Dari India, Buddhisme kemudian menyebar ke Sri Lanka dan Benggala.
Karena itu, tak heran jika patung-patung Buddha ditemukan di sepanjang Jalur Sutra. Ajaran-ajaran Pada biksu juga tak jarang tampak berada di Jalur Sutra untuk menyebarkan ajaran Buddhisme.
Buddhisme bertahan di dataran Tibet dalam waktu singkat sebelum Islam hadir di sana. Asia Tengah kemudian perlahan menjadi wilayah yang didominasi Islam dengan Transoxiana sebagai jantungnya di Timur.
Perubahan di Asia Tengah membuatnya jadi pusat komunikasi yang menghubungkan Islam dengan lebih banyak kultur, negara, dan tradisi. Wilayah-wilayah Islam bermunculan yang disusul 'penaklukan' oleh para penguasa.
Pada masa Kekaisaran Mongolia, ekspansi Islam lebih menjanjikan. Islam berhasil disebarkan ke wilayah pesisir India melalui para pedagang Arab dan diteruskan bangsa Turki ke utara. Penyebaran Islam yang dilakukan melalui dakwah damai para sufi dan penaklukan, membuat Muslim berhasil mendominasi jalur perdagangan dunia itu. Tak hanya Islam dan Buddhisme, Jalur Sutra juga turut membantu penyebaran agama Kristen.