Sabtu 18 Feb 2017 15:14 WIB

Pengamat: Pejabat Publik Harus Punya Status Hukum Jelas

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Winda Destiana Putri
Hukum dan Keadilan (ilustrasi)
Foto: RESPONSIBLECHOICE
Hukum dan Keadilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jakarta, Bivitri Susanti menyebut seorang pejabat publik yang mengambil kebijakan administrasi harus mempunyai status hukum yang jelas. Alasannya, kebijakan yang diambil tersebut akan rentan digugat oleh pihak-pihak tertentu.

"Kalau posisi pejabat administrasi negara yang mengeluarkan putusan administrasi negara tak kuat posisinya, maka lawan politiknya mudah menggungat putusan itu mudah, bisa di pengadilan dan ombudsman," kata dia dalam diskusi bertema 'Perkara Non Aktif Kepala Daerah Terdakwa' di Jakarta, Sabtu (18/2).

Bivitri menyebut kondisi tersebut justru berdampak pada jalannya pemerintahan. Ia mengatakan, dari segi hukum tata negara presiden akan meminta Menteri Dalam Negeri menjelaskan alasan pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Menurutnya, Mendagri harus punya rincian konsekuensi atas pengambilan keputusan pengaktifan kembali Ahok. Alasannya, pengaktifan itu berhubungan dengan jabatan publik di ibukota Indonesia. Bivitri meminta Mendagri menimbang berbagai pandangan dari pakar-pakar hukum berbeda sebelum dibawa ke presiden. "Yang seharusnya menghentikan memang presiden, tapi yang dipermasalahkan banyak orang adalah kenapa mendagri mengaktifkan kembali," jelanya.

Sementara itu, Komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Saragih berujar, saat ini Mendagri tengah bersafari mencari landasan pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sebelum menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Kami melihat apakah ada kepentingan publik yang dirugikan dari pejabat yang status hukumnya goyah. Itu yang akan kita berikan saran pada presiden," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement